Mencegah Sampah Elektronik Jadi Bencana Lingkungan Selanjutnya

Ilustrasi - Petugas menimbang dan mencatat sampah elektronik milik nasabah yang akan disetorkan ke Bank Sampah Bumi Hijau untuk dikelola di Cluster Verina Bintaro. -ANTARAFOTO/Muhammad Iqbal/Spt.-

JAKARTA  - Sampah elektronik (e-waste) kini menjadi salah satu tantangan lingkungan yang tak bisa diabaikan. Seiring berkembangnya teknologi, volume sampah elektronik pun semakin meningkat.

Di Indonesia, sampah elektronik seperti telepon seluler, kulkas, televisi, printer, hingga mesin cuci, telah mencapai dua juta ton pada tahun 2021, dengan Pulau Jawa menyumbang 56 persen dari total sampah elektronik di negara ini.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, menegaskan bahwa sampah elektronik mengandung berbagai mineral dan logam yang berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak dikelola dengan benar.

Hal ini mendapat perhatian lebih, setelah PBB pada tahun 2024 memperingatkan bahwa masalah sampah elektronik dapat menjadi bencana lingkungan yang lebih besar di masa depan.

BACA JUGA:Polda Ungkap Korupsi Perjalanan Dinas Anggota DPRD, Taufik: Belum Ada Tersangka

BACA JUGA:Hurmin-Gerry Disambut di Rumah Dinas Bupati Sarolangun

Laporan yang dirilis oleh United Nations Institute for Training and Research (UNITAR) dan United Nations International Telecommunications Union (ITU) menunjukkan bahwa global sampah elektronik mencapai 2,6 juta metrik ton per tahun, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 82 juta ton pada tahun 2030.

"Penumpukan sampah elektronik di Indonesia disebabkan oleh pengolahannya yang belum berkembang dengan baik. Biaya pengolahan yang mahal membuat banyak sampah elektronik hanya berhenti di pengepul, lalu diekspor ke luar negeri, terutama ke Tiongkok," ujar Handoko.

Ibar Akbar, Plastic Project Leader Greenpeace Indonesia, menyoroti pengelolaan sampah elektronik yang masih belum optimal.

Sampah elektronik termasuk dalam kategori sampah B3 berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, yang memerlukan pengelolaan khusus dan pengelola yang tersertifikasi.

BACA JUGA:Makanan di Pasar Bedug Aman Dikonsumsi, BPOM Jambi Pastikan Tanpa Formalin dan Boraks

BACA JUGA:Sudah Sepekan Gas 3 Kg Di Kabupaten Tebo Mulai Langka

Sayangnya, belum semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas untuk mengelola sampah elektronik dengan benar.

Ibar juga mengusulkan agar produsen elektronik mulai membuat peta jalan yang mencakup pengelolaan produk mereka, dari segi daya tahan, kemampuan untuk diperbaiki, dan skema pengelolaan ketika produk rusak. Pemerintah juga diminta untuk mencari data terbaru mengenai tren pasar elektronik di Indonesia.

Maitrise Adji Kawigraha, Ketua Kelompok Riset Pengelolaan Dampak Pertambangan BRIN, menambahkan bahwa pengumpulan sampah elektronik di Indonesia juga terhambat oleh budaya masyarakat yang cenderung menyimpan barang-barang elektronik lama.

Hal ini menyebabkan hanya sekitar 5 persen sampah elektronik yang berhasil diolah di Indonesia.

BACA JUGA:Dorong Pengembangan Karakter Generasi Muda Lewat Rakor Kepramukaan 2025

BACA JUGA:Kapolda Pimpin Sertijab Pejabat Utama Polda Jambi

Untuk mengatasi masalah ini, BRIN tengah mengembangkan teknologi ekstraksi yang efisien dan ramah lingkungan untuk mengolah sampah elektronik dengan biaya terjangkau.

Teknologi ini mencakup proses pirometalurgi dan hidrometalurgi yang digunakan untuk mengurai komponen-komponen dari sampah elektronik, seperti telepon seluler dan peralatan rumah tangga besar seperti kulkas dan mesin cuci.

BRIN juga mengembangkan model "urban mining" berbasis komunitas untuk mengelola sampah elektronik yang bersinergi dengan universitas, pemerintah daerah, dan organisasi non-pemerintah (NGO), baik lokal maupun global.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan