Evolusi Brainrot Dimulai Sejak 2023

Evolusi Brainrot Dimulai Sejak 2023-IST/Jambi Independent-Jambi Independent

Bagi Gen Alpha, itu bukan soal masuk akal atau tidak. Itu tentang menjadi bagian dari sesuatu. Tentang tertawa bersama di tengah dunia yang penuh tekanan.

Namun, seperti dua sisi mata uang, fenomena brainrot juga menimbulkan kekhawatiran. Beberapa konten mulai memuat unsur stereotip budaya yang kasar, humor ofensif, bahkan menyelipkan simbol-simbol yang mirip dengan ikonografi ekstremis.

Sebuah artikel dari Pitchfork, misalnya, menyebut bahwa tren brainrot secara tidak langsung bisa menjadi pintu masuk normalisasi ideologi fanatisme sayap kanan. Yakni melalui lelucon yang terbungkus humor absurd.

Salah satunya Bombardino Crocodilo yang dalam videonya secara terang-terang menghina agama tertentu. Di sisi lain, banyak pula yang melihat fenomena itu sebagai bentuk seni baru. Sebuah manifestasi kreativitas generasi digital yang tumbuh bersama algoritma dan AI.

Karakter-karakter brainrot diciptakan dengan alat generatif seperti DALL-E, Runway, dan ElevenLabs. Bukan hanya karya satu orang, tapi hasil kolaborasi antara manusia dan mesin.

Menariknya, tren itu juga mulai menyinggung wilayah mitologi dan okultisme. Ada karakter seperti Apollo di Pizza, dewa matahari yang berubah menjadi koki pizza yang bisa mengendalikan waktu.

Atau Medusa Microwave, sosok berkepala ular yang bisa menghangatkan makanan sambil mengutuk musuh.

Itu membuat konten brainrot semakin surreal, kadang menyerempet pada nuansa horror atau spiritualisme campy ala film B-movie tahun 80-an.

Masyarakat kini terbagi. Ada yang menganggap itu sebagai gejala kemunduran budaya. Ada yang melihatnya sebagai adaptasi baru dalam komunikasi digital.

Tapi satu hal yang jelas: brainrot bukan sekadar tren. Ia adalah cerminan. Cerminan dari generasi yang tumbuh di tengah pandemi, krisis iklim, perang, dan teknologi yang melesat cepat.

Bagi banyak remaja, brainrot bukan soal humor semata, tapi juga soal komunitas. Mereka membuat, membagikan, dan menanggapi konten dalam ekosistem yang sangat interaktif.

Karakter-karakter absurd itu menjadi meme internal yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mengikuti arus. Dan seperti subkultur lainnya, ada rasa memiliki yang kuat di dalamnya.

Sebagai masyarakat, mungkin kita tak perlu langsung menghakimi. Sebaliknya, kita bisa mencoba memahami.

Apa yang dicari generasi muda dari konten seperti ini? Apakah mereka hanya ingin tertawa, atau ada keresahan yang mereka suarakan lewat absurditas?

Brainrot, pada akhirnya, adalah bentuk komunikasi. Ia mungkin tidak konvensional. Tapi ia nyata. Ia mungkin tidak mendidik, tapi ia reflektif. Dan seperti semua budaya pop lainnya, ia akan terus berevolusi—bersama generasi yang menciptakannya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan