Pers vs Kreator Konten Digital: Tantangan Regulasi di Era Transformasi Media

Andri Wijaya, Jurnalis TVRI Jambi-Foto : ist-Jambi Independent

Fenomena ini menciptakan ketimpangan yang nyata. Pers layaknya petinju profesional yang berlaga di ring resmi dengan aturan yang ketat: harus melakukan verifikasi, check and recheck, menyampaikan berita secara berimbang, serta bertanggung jawab secara hukum. 

Sementara kreator konten digital kerap bertindak layaknya petarung jalanan—bebas, liar, dan tak terikat batasan. Mereka kerap mengedepankan sensasi demi klik dan share, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat.

Salah satu contoh nyata adalah maraknya konten hoaks atau informasi keliru yang beredar cepat melalui media sosial. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa pada tahun 2023 terdapat lebih dari 11.000 konten hoaks yang teridentifikasi di ruang digital Indonesia. Ini menandakan lemahnya mekanisme kontrol informasi yang beredar di platform non-pers.

Sayangnya, hingga kini belum ada regulasi yang memadai untuk mengatur ranah ini. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas hanya mengatur media massa yang terverifikasi, bukan individu atau kelompok yang beroperasi sebagai kreator konten digital.

BACA JUGA:Penuh Haru Pilu, Wali Kota Maulana Lepas Secara Resmi 660 Calon Jamaah Haji Kota Jambi 

BACA JUGA:Ajarkan Internet Safety Sejak Dini, Tips agar Anak Lebih Waspada di Dunia Digital

 Sementara Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang baru justru menimbulkan kontroversi karena dinilai bisa mengancam kebebasan pers alih-alih menyelesaikan persoalan ketimpangan regulasi ini.

Menurut saya, pemerintah perlu menghadirkan kebijakan yang adil dan progresif—bukan untuk membungkam, tapi untuk menyamakan level tanggung jawab. Jika konten digital telah mengambil alih peran pers dalam menyampaikan informasi ke publik, maka mereka pun harus tunduk pada prinsip-prinsip dasar jurnalisme: verifikasi, akurasi, dan tanggung jawab etik.

Bukan berarti kreator konten digital tidak boleh eksis. Justru keberadaan mereka adalah bagian dari demokratisasi informasi. Namun, dalam masyarakat yang sehat secara informasi, semua pihak—baik pers maupun kreator digital—harus bermain dalam arena yang setara, bukan bertarung dalam ketimpangan.

Kita tidak ingin demokrasi informasi berubah menjadi anarki informasi. Sudah saatnya negara hadir untuk menjembatani kesenjangan ini, bukan hanya demi masa depan pers, tetapi juga demi hak publik atas informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan