Komarudin Hidayat Terpilih Secara Aklamasi, Pimpin Dewan Pers Periode 2025-2028

Prof Komarudin Hidayat (empat kiri) bersama pengurus Dewan Pers periode 2025-2028.-IST/Jambi Independent-Jambi Independent
Disebutkannya, era demikian merupakan bentuk baru 'kolonialisme digital' yang menyerang pola pikir dan perilaku masyarakat melalui algoritma yang mengatur konsumsi informasi.
"Karena yang diserang itu sekarang adalah pemikiran dan perilaku masyarakat. Terutama oleh yang disebut digital colonialism. Kolonialisme digital, algoritma, itu mengarahkan perilaku kita. Sekarang kita melihat dunia, itu kan tergantung apa kata handphone," selorohnya.
Komarudin yang juga mantan rektor UII itu mengajak semua pihak terlibat aktif dalam mendidik publik dan membersihkan ruang digital dari konten-konten yang hanya sensasional.
"Dewan Pers dan juga guru-guru, pendidik, juga medsos, perlu kerja sama. Pertama, mendidik masyarakat, juga untuk main cleansing membersihkan pikiran-pikiran, sampah-sampah yang mengganggu, komunikasi wacana kita, banyak sekali," ujar Komaruddin.
Ditegaskannya, tantangan di tengah era kolonialisme digital demikian menjadi perhatian serius bagi kepengurusan Dewan Pers ke depan.
Menkomdigi Meutya Hafid berharap Dewan Pers dengan terpilihnya Prof Komardin Hidayat sebagai ketua ini untuk selalu menjaga kualitas informasi publik di tengah disrupsi digital dan kemajuan AI yang makin kompleks.
"Ini tugasnya memang menantang. Tantangan terhadap pers semakin bertambah, terkhusus sekarang di era media baru,” ujar melalui rilisnya, Kamis (15/5).
Dilanjutkan, seiring derasnya arus informasi digital, maka dibutuhkan ketelitian dalam memilah kebenaran serta komitmen terhadap kode etik jurnalistik.
Ia juga mengingatkan bahwa kecerdasan buatan berpotensi memperburuk penyebaran hoaks secara masif. Dengan teknologi artificial, katanya, publik akan semakin sulit membedakan mana yang betul dan mana yang palsu. Hal ini merupakan tantangan yang jauh lebih besar pada Dewan Pers untuk memastikan etika dan kualitas jurnalisme terjaga.
Meutya juga mengungkapkan keprihatinan atas menyusutnya ruang redaksi dan hilangnya pekerjaan jurnalis dalam beberapa tahun terakhir.
“Ini tentu bukan sekadar isu bisnis, tapi juga dapat menyangkut kualitas demokrasi dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat,” ujarnya. (*)