Data-data-isme

Adey Sucuk Zakaria-IST/Jambi Independent-Jambi Independent

Dalam beberapa dekade terakhir data menjadi sebuah komoditas yang paling penting melebihi kebutuhan dasar akan sandang, pangan, dan papan. Satu data cukup untuk memvonis lahirnya varian Covid-19 terbaru bernama Nimbus. Sebuah data juga berdampak signifikan untuk hasil pertandingan sebakbola. Bahkan karena data pula eskalasi Iran-Israel kian memanas sampai saling berbalas rudal. Data is the new oil.

Glorifikasi tentang data sejatinya sudah ada sejak 30 tahun silam, saat pertama kali istilah “Big Data” dipantik. Di Indonesia sendiri episentrum big data mulai didedahkan dalam 15 tahun terakhir, namun secara eksponensial meningkat di era Jokowi hal ini bisa ditelusur dalam berbagai pidato kenegaraannya. Mengindikasikan pentingnya arti dari sebuah data dalam bernegara.

Data tidak melulu diasosiasikan sebagai bahasa-bahasa pemograman yang rumit. Mereka yang familiar dengan Chat GPT atau bentuk lain dari AI sangat paham bahwa data dapat dikurasikan dengan bahasa yang sederhana sehingga menciptakan data baru. Data dalam data. Data dapat pula diartikan sebagai suatu kejadian, momen, atau peristiwa yang berupa fakta sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

BACA JUGA:Kiprah SAH, Sang Pejuang Petani di Provinsi Jambi

BACA JUGA:Nadiem Makariem Penuhi Panggilan Kejagung, Terkait Kasus Pengadaan Laptop

Dari triliunan data yang beredar diperlukan seseorang yang ahli dalam mengelola dan menganalisa data sehingga data yang masih mentah dapat dihidangkan dengan matang dan tidak menjadi hoaks. Itulah kenapa baru-baru ini kita mengetahui adanya Covid varian Nimbus agar kita selalu waspada. Atau kenapa Verdonk lebih sering masuk sebelas pertama timnas Indonesia dibanding Tjoe-A-On dan Arhan? Staf kepelatihan Kluivert tentu telah mengkaji data-data teknis yang bersangkutan. Data tidak tahu bahwa ia sebuah data. Data tidak bisa mengelola dirinya sendiri. 

Metadata-isme

Sebagai instansi yang setiap hari bergelut dengan data, perpustakaan selama ini hanya berjibaku dengan metadata primer. Padahal banyak data-data yang dapat disuguhkan dan berguna bagi khazanah keilmuan seperti halnya data Nimbus dan data Verdonk di atas. Apalagi kredo kolaborasi dewasa ini meletup tak hanya di pemerintahan tapi juga di lapisan masyarakat. Data apa yang tidak bisa dikolaborasikan dan dielaborasi oleh perpustakaan?

Bahkan dalam berbagai film layar lebar maupun berbayar perpustakaan acap ditampilkan menjadi unsur penting dalam alur cerita sehingga menambah nuansa dramatis. Sebut saja dalam Harry Potter (2001-2011), Stranger Things (2016-2025), dan yang terbaru Fountain of Youth (2025). Dalam beberapa tayangan yang disebutkan di atas benang merah yang mengemuka adalah “perpustakaan telah selesai dengan buku”. Bertanda kutip dan bergaris bawah.

Penggambaran perpustakaan dinarasikan sudah bertransformasi menjadi pusat pemecah kebuntuan. Kadung disebut pusat data dan informasi. Sang tenaga ahli atau Pustakawan telah selesai bergumul dengan kerat-kerat metadata, justru yang ditampilkan adalah perannya sebagai data expertise. Istilah slangnya yaitu “Palugada” –Apa yang lu cari, gue ada. Sehingga siapapun yang datang ke perpustakaan tak hanya menerima pengalaman perpustakaan sebagai gedung atau ruang megah belaka. Lebih dari itu, siapapun yang datang akan tumbuh sensasinya dalam hal data retrieval dan data resources. Sebentuk cetak biru pelayanan publik di perpustakaan.

Konon, jika telah menemukan data atau informasi yang sangat dibutuhkan, orang akan cenderung datang untuk mencari lagi atau minimal sensasi yang dirasakan akan terus bersamanya menjadi suatu pengalaman. Dalam konteks psikologi, orang memang akan cenderung datang berulang kali ke tempat dengan pengalaman positif atau rasa bahagia. Bahagia menemukan data yang dicari.

Laissez Faire dan Data

Pengelolaan data oleh perpustakaan ibarat diagram venn. Sisi pertama dapat menumbuhkan sensasi dan mengendap jadi pengalaman baru bagi siapapun yang datang seperti potret di atas. Irisan yang lain menjurus ke arah fenomena Laissez Faire. Laissez faire dalam tulisan ini sama sekali tidak berhubungan dengan istilah yang kerap disinggung dalam dunia ekonomi. Laissez faire dalam tulisan ini lebih ke arah sikap yang terlalu santai, pasif, apatis, dan pasrah dengan keadaan, khususnya pada data.

Persamuhan fenomena tersebut dengan data dan perpustakaan dalam analogi diagram venn adalah masifnya korosi data yang secara rapid melahirkan data baru. Gelagat laissez faire pada point ini yaitu seakan pusat data dan informasi (baca: perpustakaan) melanggengkan kemubaziran data. Sehingga siapa pun yang datang ke perpustakaan tak punya sensasi dalam data retrieval dan data resources. Maka gugurlah cita-cita pelayanan publik yang prima.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan