Menata Ulang Kelembagaan dan Integritas Pemilu Pasca Putusan MK Pemisahan Pemilu dan Pilkada

MENATA ULANG : Gedung Makamah Agung. Pasca putusan MK, kelembagaan dan integritas pemilu harus ditata ulang.-IST/Jambi Independent-Jambi Independent
JAMBI - Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) terbaru menjadi tonggak penting dalam upaya menata kembali sistem pemilihan umum di Indonesia.
Sebagaimana dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025 lalu, MK menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu serentak secara konstitusional bukan berarti semua pemilihan dilakukan dalam satu hari dan satu momentum yang sama. Sebaliknya, Mahkamah menegaskan bahwa keserentakan yang ideal justru terletak pada pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah.
Dengan demikian, pemilu nasional yang mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), seyogyanya dilaksanakan terpisah dari pemilu daerah yang meliputi pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakilnya), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota.
"Konsekuensi dari putusan ini sangat signifikan, karena berarti skema yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu lima kotak”—di mana seluruh jenis pemilihan digabung dalam satu hari pencoblosan—tidak lagi dianggap sesuai dengan prinsip keserentakan yang dikehendaki konstitusi," kata Zakly Hanafi Ahmad, S.I.P., M.Sos., Pengamat dan Akademisi Ilmu Politik, Universitas Jambi, Senin 7 Juli 2025.
BACA JUGA:Pemerintah Kabupaten Batang Hari Sambut Kepulangan Jamaah Haji
BACA JUGA:Perintahkan Catatan Iuran Kebersamaan Dibakar
Menurut Zakly, putusan ini merupakan respons atas permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang telah lama mengadvokasi pentingnya reformasi dalam tata kelola pemilu nasional dan lokal.
MK memandang bahwa penyatuan semua jenis pemilu dalam satu hari bukan hanya membebani pemilih dan penyelenggara, tetapi juga berpotensi menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri. Selain menyulitkan pemilih dalam memahami pilihan-pilihan politiknya, model “lima kotak” juga sering kali menciptakan kerumitan administratif, logistik, dan pengawasan yang tidak kecil.
"Dengan memisahkan waktu penyelenggaraan antara pemilu nasional dan pemilu daerah, proses demokrasi diharapkan berlangsung lebih sederhana, efektif, dan memberi ruang lebih luas bagi rakyat untuk mempertimbangkan pilihannya secara lebih rasional dan mendalam. Langkah ini bukan hanya teknis, tetapi merupakan bagian dari upaya besar mengembalikan pemilu sebagai instrumen kedaulatan rakyat yang dijalankan secara jujur, adil, dan bermartabat," ujarnya.
Dijelaskan Zakly, dampak dari putusan ini, seharusnya dapat dibaca sebagai peluang struktural untuk mereformasi tata kelola pemilu secara menyeluruh. Selama dua dekade terakhir, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah bekerja di bawah tekanan luar biasa akibat kompleksitas tahapan yang padat dan simultan.
"Pemilu 2019 dan 2024 mencerminkan akumulasi kelelahan kelembagaan, di mana semua tahapan harus dilakukan nyaris bersamaan, mulai dari pencalonan hingga penghitungan suara dan sengketa. Pemisahan pemilu ke dalam dua gelombang memberi ruang perencanaan yang lebih rasional, tanpa tergesa-gesa, dan memungkinkan peningkatan kualitas teknis secara lebih mendalam," ungkapnya.
"Ini adalah momen untuk menghentikan praktik penyelenggaraan yang sekadar mengejar waktu dan pencapaian simbolik seperti rekor MURI dan mulai berfokus pada kualitas prosedur, akurasi logistik, literasi pemilih, dan integritas hasil. Dengan tahapan yang tersebar, proses seperti pelatihan badan ad hoc, distribusi logistik, validasi daftar pemilih, serta pendidikan pemilih dapat dirancang dengan lebih matang dan partisipatif," sambungnya.
Lebih jauh pengamat politik muda dari Unja ini mengatakan, pemisahan pemilu juga membuka ruang untuk reformasi kelembagaan, terutama dalam manajemen sumber daya manusia. Salah satu aspek kritis adalah mekanisme rekrutmen badan ad hoc yang selama ini sering menuai kritik mengenai transparansi dan kinerja, dalam konteks ini Komisi Pemilihan Umum wajib memanfaatkan SIAKBA (Sistem Informasi Anggota KPU dan Badan Adhoc) secara maksimal, bukan hanya sebagai alat pendaftaran, tetapi sebagai sistem evaluasi rekam jejak.