Karam Darat

Dahlan iskan--

Kasus ASDP yang mencuat belakangan ini bukan sekadar skandal korupsi biasa. Ini adalah cermin retak dari paradoks pembangunan Indonesia: bagaimana sebuah upaya transformasi perusahaan negara malah berujung pada vonis pengadilan. 

Para direksi yang kini terpampang di dakwaan KPK—adalah para profesional yang dulu dipercaya memimpin ASDP menuju era baru. Kini mereka duduk di kursi terdakwa, bingung antara label "reformator" dan "koruptor." 

Dilema Sang Atlas yang Memikul Dua Dunia 

Ironi ini dimulai dari sebuah dilema klasik BUMN Indonesia: bagaimana mencari keuntungan sambil memikul beban sosial yang tidak pernah menguntungkan. 

ASDP bukan sekadar perusahaan pelayaran biasa—ia adalah Atlas yang harus menopang dua dunia sekaligus. 

Di satu sisi, mereka harus bersaing dengan operator swasta yang bebas memilih rute profitable. 

Di sisi lain, mereka harus menjalankan rute perintis ke daerah 3T yang pasti merugi, karena itu adalah amanah negara untuk pemerataan akses transportasi. 

Bayangkan, menjalankan bisnis di mana setiap bulan Anda harus memproduktifkan rute Merak-Bakauheni yang menguntungkan untuk menutup kerugian rute ke Pulau Weh, Morotai, atau Sabang yang penumpangnya seadanya. 

Pesaing swasta? Mereka cukup mengambil rute yang manis-manis saja. 

Dalam kondisi seperti ini, akuisisi PT Jembatan Nusantara dengan 53 kapalnya bukan sekadar ambisi ekspansi—ini adalah strategi survival yang masuk akal. Bukan membeli kapal kosong yang masih harus mengurus izin trayek bertahun-tahun, melainkan mengakuisisi perusahaan yang sudah memiliki izin operasi lengkap. Artinya: revenue bisa langsung mengalir hari ini juga, bukan tahun depan atau tahun lusa setelah birokrasi selesai. 

Perbedaannya seperti membeli warung Padang yang sudah jadi versus membeli kompor dan beras untuk buka warung baru. Yang pertama, besok sudah bisa jualan nasi Padang. Yang kedua, masih harus ngurus izin usaha, izin tempat, izin ini-itu—bisa setahun baru buka, dan belum tentu laku. Dalam konteks bisnis pelayaran, akuisisi perusahaan berikut izin trayeknya adalah strategi fast track yang lazim di industri manapun. 

Di Singapura, Neptune Orient Lines tumbuh menjadi raksasa pelayaran melalui serangkaian akuisisi strategis perusahaan-perusahaan kecil berikut rute operasinya. 

Di Korea Selatan, Hyundai Merchant Marine bangkit dari kepailitan dengan mengakuisisi kompetitor yang bangkrut, lengkap dengan armada dan izin operasinya. Tidak ada yang aneh dengan strategi ini—kecuali di Indonesia, di mana setiap langkah besar BUMN dianggap mencurigakan. 

Namun di Indonesia, logika bisnis sering terganjal oleh logika hukum yang serba curiga. Setiap langkah besar BUMN diperiksa dengan kacamata pembesar, setiap keputusan berisiko ditafsirkan sebagai potensi penyalahgunaan wewenang. Akibatnya, para direksi BUMN terjebak dalam what I call "the paralysis of perfection" —ketakutan berlebihan untuk mengambil risiko karena takut dituduh korup. 

Sistem yang Menggali Kuburnya Sendiri 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan