Dorong Anak Belajar Lebih Dalam Lewat Percakapan Bermakna
-Ist/Jambi Independent-Jambi Independent
Bukan sekadar bertanya “Sudah makan?” cara orangtua berkomunikasi ternyata berpengaruh besar terhadap kemampuan berpikir kritis anak.
Penelitian yang dilakukan di salah satu layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Nusa Tenggara Timur menemukan bahwa kegiatan guru dalam menstimulasi kemampuan bahasa anak masih didominasi oleh aktivitas sederhana seperti bernyanyi dan percakapan rutin. Sayangnya, sebagian besar isi percakapan masih terbatas pada pertanyaan sehari-hari yang bersifat dangkal, seperti “Sudah makan?” atau “Siapa yang antar ke sekolah?”.
Menurut Beatrix Bunga, anggota ECED Council sekaligus dosen di Universitas Nusa Cendana Kupang, jenis percakapan semacam itu tidaklah salah, namun peluang untuk menjadikannya sarana pembelajaran yang lebih bermakna sering kali terlewat.
BACA JUGA:Cara Sederhana Memulai Gaya Hidup Zero Waste di Rumah
BACA JUGA:Diet ‘Planetary Health’ Bisa Selamatkan Jutaan Jiwa Setiap Tahun
> “Ketika percakapan tidak diarahkan untuk menumbuhkan pemikiran anak, maka kesempatan emas untuk membuat proses belajar menjadi bermakna akan hilang,” jelas Beatrix.
Ia menambahkan, hal serupa juga sering terjadi di rumah. Anak-anak usia dini kerap menerima pertanyaan yang sifatnya hanya rutin dan tidak mendorong mereka berpikir lebih jauh. Padahal, menurut Beatrix, proses belajar terbaik justru muncul dari percakapan sederhana yang dilakukan di keseharian saat makan, bermain, atau berjalan bersama.
Dalam konteks pendidikan, konsep deep learning atau pembelajaran mendalam kini semakin banyak dibahas dalam kurikulum di Indonesia. Meski terdengar akademis, praktiknya bisa diterapkan di rumah dengan langkah kecil: mengajak anak bertanya, menalar, dan mengaitkan hal-hal yang dipelajari dengan kehidupan nyata.
Beatrix mencontohkan perbedaan antara anak yang hanya menjawab, “Gunung meletus karena magma keluar,” dengan anak yang balik bertanya, “Mengapa magma bisa keluar dari bumi?” atau “Apa yang terjadi pada orang-orang di sekitar gunung itu?” Pertanyaan lanjutan menunjukkan bahwa anak sudah berpikir kritis dan ingin memahami secara lebih mendalam.
Pembelajaran mendalam, lanjutnya, bukan sekadar menghafal informasi, tetapi membantu anak memahami keterkaitan antarpengetahuan, mengasah rasa ingin tahu, serta melatih refleksi diri. Untuk menciptakan deep learning di rumah, Beatrix menekankan tiga hal penting:
1. Kesadaran dalam belajar.
Anak perlu tahu apa yang sedang ia pelajari dan mengapa hal itu penting. Misalnya, belajar berhitung bukan hanya agar bisa menjawab soal, tetapi agar dapat membagi makanan secara adil dengan teman.
2. Keterhubungan dengan kehidupan nyata.
Pengetahuan akan terasa bermakna jika anak memahami relevansinya dengan aktivitas sehari-hari.