Depan Belakang
Disway--
Istri saya ketakutan: juga dalam hati. Dia sendiri merasa aneh. Biasanya kan saya yang ketakutan. Ternyata Shahdan itu nama kakeknyi. Yang pekerjaannya tukang angkut barang di gerobak dorong. Di Samarinda. Masa kecil istri memang ikut kakek. Istri saya anak pertama dari 12 bersaudara. Ayahnyi tentara. Pergi terus. Ke medan tugas. Ibunyi urus adik-adiknyi.
Visa Arab Saudi tidak menempel di paspor. Visa itu dikirim lewat email. Maka email itu pun saya minta di-print. Siapa tahu ada masalah di bandara nanti.
Saya pun ke bandara lebih awal. Siap-siap kalau ada masalah. Juga berharap masih ada kursi prangko. Begitu tiba di counter saya sodorkan dua paspor. Juga dua lembar visa.
Tidak ada pertanyaan apa pun. Petugasnya lebih ''mengerti'' soal beda nama itu. Orang lebih punya perasaan dibanding online. Komputer bekerja berdasar data. Manusia bisa berdasar pengalaman.
Satu-satunya persoalan di check in tinggal itu tadi: kursi prangko.
Untuk jurusan Jakarta ke Abu Dhabi saya dapatkan kursi itu. Tapi Abu Dhabi ke Jeddah harus pisah. Saya pura-pura marah ke petugas check in. Sekadar agar terlihat oleh istri bahwa saya serius berusaha. Lebih baik marah ke petugas daripada dimarahi istri.
Memang istri saya tidak pernah ngata-ngatai saya ''goblik'' atau ''comberan'' tapi dari ekspresi kecilnyi saja saya sudah bisa menebak pedalaman hatinyi.
Dari layar komputer petugas itu saya baru tahu: kini ada kabin pesawat yang susunan tempat duduknya belum pernah saya lihat. Separo kursinya menghadap ke belakang. Selang seling. Bukan seperti di beberapa kereta komuter: separo menghadap ke depan, separonya lagi ke belakang. Ini beda.
Pesawatnya Boeing 787 Dreamliner. Baris pertamanya: 1-2-1. Dua kursi yang di tengah itu menghadap ke depan. Di situlah saya dan istri. Untuk Jakarta-Abu Dhabi.
Satu kursi di kiri dan satu kursi di kanan menghadapnya ke belakang.
Baris keduanya terbalik: susunannya tetap 1-2-1, tapi posisi hadapnya kebalikannya. Lalu baris ketiga seperti baris pertama. Baris keempat seperti yang kedua. Begitu sampai baris keenam.
Efisiensi.
Perdebatan di antara ahli desain rupanya tidak pernah berhenti: kursi harus diatur bagaimana. Agar dengan pesawat yang sama bisa menampung kursi lebih banyak.
Dengan cara cerdas.
Bukan sekadar menyempitkan jarak tempat duduk seperti di pesawat merah di Indonesia.
Sekitar 20 tahun lalu saya juga mengalami hal baru: jurusan Hong Kong. Cathay Pacific. CX. Posisi kursinya dibuat mencong.