Muktamar Rapim
Disway--
SENIN saya di Batam (lagi), Selasa kemarin di Lombok. Ada muktamar di Mataram. Yang bermuktamar bukan partai tapi sebuah perusahaan. Begitulah kalau perusahaan syariah mengadakan rapim lengkap. Rapim itu disebut muktamar.
Acara dilakukan di aula kantor pusatnya: Bank NTB Syariah –d/h Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat. Inilah satu-satunya bank daerah yang mengubah diri sepenuhnya menjadi Bank Syariah.
Sejak tahun 2018. Sejak gubernur NTB masih dijabat Tuan Guru Bajang –kini menjabat ketua harian Partai Perindonya Hary Tanoesoedibjo caleg DPR dari dapil Lombok.
Riau juga sudah lama ingin bank daerahnya berubah menjadi Bank Syariah. Inisiatifnya lebih dulu dari NTB. Tapi sampai sekarang belum terlaksana. Mungkin baru satu dua minggu lagi.
Keinginan Sumatera Barat lebih lama lagi. Sejak Orde Baru pun sudah ingin mengubahnya jadi bank syariah. Belum juga terwujud.
Di sana ada banyak pendapat: cukup bank syariah sebagai unit saja atau sepenuhnya ganti ke bank syariah. Atau kenapa tidak punya dua bank sekaligus, bank umum dan bank syariah. Sampai sekarang belum ada keputusan.
Tentu bank daerah Aceh juga sudah berubah menjadi bank syariah. Tapi latar belakangnya berbeda. Menurut aturan di Aceh semua bank memang harus syariah.
Berarti tetaplah NTB menjadi yang pertama dan masih satu-satunya. Dan itu tidak penting. Yang penting adalah: apakah setelah sepenuhnya jadi bank syariah bisa lebih maju.
Sejauh ini memang lebih maju –meski belum tentu itu berkat perubahan status. Sejak berubah itu asetnya naik lebih dua kali lipat: menjadi Rp 15 triliun. Fee base-nya sudah hampir cukup untuk biaya karyawan. Tentu ini masih belum membanggakan. Itu ibarat karyawan masih menyusu –masih seperti anak kecil. Tapi itu sudah maju.
Sebelumnya pendapatan dari fee base hanya cukup untuk 50 persen biaya SDM. Apalagi mereka sudah bertekad tahun depan pendapatan fee base sudah harus bisa melebihi biaya karyawan.
Saya pun bertanya kepada para kepala cabang yang ikut muktamar: siapa yang punya ide baru agar fee base itu melonjak. Ternyata empat orang kepala cabang unjuk jari. Mereka belum 40 tahun. Mereka saya undang ke panggung: apa saja ide mereka.
Dirut Bank NTB Syariah Kukuh Rahardjo –yang langsung jadi moderator sesi saya ini– terlihat mencatat apa saja yang dikemukakan anak buahnya itu. Saya pun ingin menuliskan ide-ide itu di sini, tapi biarlah itu eksklusif milik Bank NTB Syariah. Biarlah perusuh Disway penasaran menduga-duga saja.
Kemajuan lain adalah: ketergantungan pada dana APBD sudah sangat kecil. Tinggal 9 persen. Berarti citra lama ''BPD itu hanya berfungsi sebagai kas daerah'' sudah berubah.
Memang bank daerah sekelas NTB masih sulit untuk memenuhi ketentuan OJK ini: modal minimalnya harus Rp 3 triliun. Padahal yang ada sekarang baru Rp 1 triliun. Tapi OJK juga memberi pilihan lain: boleh aliansi dengan bank lain yang modalnya sudah mencukupi modal minimalnya.
Maka Bank NTB Syariah menjajaki aliansi dengan Bank Jatim. Sudah ada kesepakatan. Tinggal melaksanakan: Bank Jatim tanam modal Rp 100 miliar di Bank NTB Syariah. Dengan tambahan modal itu maka Bank NTB Syariah sudah aman –ikut ketentuan modal dasar Bank Jatim.
Saya sering ke Lombok. Tapi sudah lama tidak ke Mataram. Lebih 25 tahun lalu kantor terbaik di Lombok adalah kantor kami, Lombok Post. Kini kantor paling megah di sana adalah gedung Bank Syariah NTB. Baru. Belum setahun. Tujuh lantai. Penempatan gedungnya agak jauh dari sempadan jalan. Terasa lebih menonjol. Arsitekturnya islami tapi lebih simbolis saja. Justru indah.
Warna eksteriornya kuning hijau putih mencolok tapi tidak norak. Serasi dengan warna kubah-kubah masjid raya Lombok di sebelahnya persis. Gubernur NTB Zulkiflimansyah yang mendorong pembangunan itu: di lahan milik Pemda, bekas lahan dinas sosial.
Banyak hal kami bahas di muktamar kemarin: bagaimana bank umum yang berubah jadi bank syariah jangan sampai tidak maju.
Kasihan stempel syariahnya. (Dahlan Iskan)