Indikasi Pelemahan Perekonomian Dibalik Surplus Neraca Perdagangan
--
Jakarta - Indonesia berhasil mencetak surplus neraca perdagangan selama 45 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Kali ke-45 ini diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Berita Statistik Januari 2024.
Plt. Kepala BPS Amalia A. Widyasanti menyatakan bahwa neraca perdagangan barang Indonesia pada Januari 2024 mencetak surplus sebesar 2,02 miliar dolar AS.
BACA JUGA:Tips Mengatasi Stres dengan Makanan yang Tepat
BACA JUGA:Beras Mahal! Ini 6 Pilihan Karbohidrat Pengganti yang Tinggi Serat
Sayangnya, kemampuan Indonesia dalam mencetak surplus sebanyak 45 kali berturut-turut itu tak serta-merta menunjukkan kondisi perekonomian sedang baik-baik saja.
Meskipun neraca perdagangan barang Indonesia surplus, nilai ekspor pada Januari 2024 mengalami penurunan sebesar 8,34 persen dibandingkan nilai ekspor pada Desember 2023, yakni dari 22,39 miliar dolar AS menjadi 20,52 miliar dolar AS.
Adapun nilai impor pada Januari 2024 mencapai 18,51 miliar dolar AS, atau turun 3,13 persen dibanding Desember 2023 yang mencapai 19,1 miliar dolar AS.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menilai terdapat indikasi pelemahan ekonomi dari negara mitra dagang Indonesia, meskipun neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami surplus sebesar 2,02 miliar dolar AS.
Kondisi pelemahan tersebut ditunjukkan dengan data nilai ekspor dan impor Indonesia yang sama-sama mengalami penurunan.
“Ini dua-duanya kurang bagus, ya,” ujar Faisal.
Capaian ekspor dan impor tersebut merupakan indikasi pelemahan perekonomian yang dialami oleh Indonesia dan negara-negara yang menjadi mitra dagangnya.
Pelemahan permintaan dan harga
Kondisi ekonomi global biasanya menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kinerja ekspor suatu negara. Adapun kondisi ekonomi global yang menjadi sorotan adalah pelemahan permintaan dari negara-negara mitra dagang Indonesia.
Perkembangan ekspor dan impor Indonesia pada Januari 2024 memang terjadi penurunan nilai ekspor ke China sebesar 20,73 persen dibandingkan bulan yang sebelumnya, yakni dari 5.765,4 juta dolar AS pada Desember 2023, menjadi 4.570,5 juta dolar AS pada Januari 2024.
Penurunan nilai ekspor juga terjadi dengan negara-negara mitra dagang Indonesia lainnya, seperti Jepang, yang menurun 9,22 persen apabila dibandingkan dengan bulan yang sebelumnya, Amerika Serikat (3,55 persen), hingga ASEAN (2,79 persen).
Penurunan nilai ekspor tersebut tidak lepas dari perlambatan yang terjadi di negara-negara mitra.
Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Juli 2023 silam memproyeksikan pertumbuhan global bakal turun dari kira-kira 3,5 persen pada 2022 menjadi 3,0 persen pada 2023 dan 2024, sedangkan pertumbuhan China diprediksi tetap di angka 5,2 persen pada 2023 dan 4,5 persen pada 2024.
Di Amerika Serikat, pertumbuhan diproyeksikan melambat dari 2,1 persen pada 2022 menjadi 1,8 persen pada 2023, dan selanjutnya menjadi 1,0 persen pada 2024.
Lebih lanjut, Faisal juga menyoroti melemahnya nilai ekspor Indonesia berdasarkan sektor, khususnya sektor pertambangan.
Terkait perkembangan ekspor dan impor Indonesia Januari 2024, BPS mencatat terdapat penurunan sebesar 23,93 persen apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya pada harga komoditas industri pertambangan dan lainnya, yakni dari 4.831,9 juta dolar AS pada Desember 2023, menjadi 3.675,7 juta dolar AS pada Januari 2024.
Akibatnya, sektor pertambangan mengalami minus dan kontraksi yang paling tajam.
"Melemahnya nilai komoditas ekspor inilah yang menjadi penyebab turunnya kinerja ekspor Indonesia," ujar Faisal.
Akan tetapi, pada Januari 2024, penurunan pada ekspor juga disertai dengan penurunan impor.
Penurunan impor bahan baku dan modal
Dari sisi impor, penurunan di Indonesia merupakan indikasi adanya pelemahan perekonomian di dalam negeri.
Berdasarkan data BPS, nilai impor barang konsumsi turun sebesar 13,54 persen apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yakni dari 2.050 juta dolar AS pada Desember 2023, menjadi 1.772,4 juta dolar AS pada Januari 2024.
Penurunan nilai impor barang golongan konsumsi pada awal tahun, terutama Januari 2024, lazim terjadi. Penurunan tersebut disebabkan pada bulan sebelumnya, yakni Desember, terdapat peningkatan impor barang konsumsi untuk perayaan Natal dan tahun baru.
Yang menjadi indikasi dari pelemahan perekonomian di dalam negeri, yakni ketika penurunan juga terjadi pada nilai impor bahan baku/penolong serta barang modal.
Penurunan yang terjadi pada nilai impor bahan baku/penolong tercatat sebesar 2,25 persen apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yakni dari 13.786,3 juta dolar AS pada Desember 2023, menjadi 13.476 juta dolar AS pada Januari 2024.
Adapun penurunan nilai impor untuk barang modal tercatat sebesar 0,31 persen apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yakni dari 3.270,8 juta dolar AS pada Desember 2023, menjadi 3.260,6 juta dolar AS pada Januari 2024.
“Itu artinya ada perlambatan aktivitas produksi di dalam negeri,” ujar Faisal.
Dengan demikian, tidak cukup untuk melihat kondisi ekonomi suatu negara dari kinerja neraca perdagangan. Oleh karena itu, penyebab surplus neraca perdagangan haruslah dibedah, sebab surplus bisa bersifat positif maupun negatif.
Surplus yang positif itu adalah selisih plus yang disebabkan oleh peningkatan ekspor sehingga ada selisih antara ekspor dengan impor.
Terkait dengan kondisi neraca perdagangan saat ini, Faisal merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membuat kebijakan yang mendorong produktivitas industri manufaktur dan meningkatkan kemandirian nasional, terlebih di sisi pangan.
Oleh karena itu, sudah saatnya Pemerintah melakukan diversifikasi ekspor ke negara-negara lain, bukan hanya ke kawasan yang selama ini menjadi sasaran utama ekspor.
Dengan demikian, perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di China maupun Amerika Serikat tidak akan terlalu memengaruhi neraca perdagangan barang Indonesia.
Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pemilu 2024 kiranya perlu memperluas pasar-pasar baru produk ekspor Indonesia demi menjaga surplus perdagangan yang berkualitas. (antara)