Blangkon Merah

Selasa 10 Sep 2024 - 17:16 WIB
Reporter : Dahlan Iskan
Editor : Dahlan Iskan

SAYA salah kostum Jumat malam kemarin. Malam itu, setelah jam 6 sore, sudah terhitung Sabtu Pahing –menurut hitungan budaya Jawa. Sabtu itu Sembilan. Pahing juga sembilan.


Berarti malam itu malam termahal –menurut hitungan Jawa: serba sembilan. Lalu, 9 + 9 = 18. Satu Delapan. Kalau dua angka itu ditambahkan jadinya juga sembilan.
Harusnya saya hadir dengan pakaian adat Jawa. Agenda sarasehannya: perilaku kerohanian budaya Jawa.

BACA JUGA:-PON XXI Aceh-Sumut 2024- Kembali Dulang Emas

BACA JUGA:Tetap Harus Pedomani Ingub Soal Mobilisasi Batu Bara Sembari Tunggu dari PPTB


Saya jadi aneh di tengah ratusan orang yang semua berpakaian adat Jawa: bawahan celana longgar warna hitam,
 baju lurik dan kepala berblankon. Banyak juga yang pakai bawahan kain sebagai pengganti celana.
Saya pakai kaus. Lengan panjang. Warna kunyit. Dengan celana olahraga. Tanpa blangkon pula.


Saya memang tidak sempat pulang. Dari acara ujian terbuka doktor untuk Dr Arif Afandi di Universitas Brawijaya, Malang, langsung ke padepokan itu. Di Pacet, Mojokerto. Di lereng Gunung Arjuno dan Gunung Penanggungan. Dingin. Angin malam menurunkan suhu menjadi 19 derajat Celsius.


Pemilik padepokan itu tahu perasaan risi saya: ia pun mengambil blangkon cadangan. Warna merah. Blangkon gaya
 Yogyakarta. Bukan gaya Raja Jawa dari Solo. Meski masih tetap berkaus tapi sudah terlihat lebih Jawa.


Tuan rumah malam itu memang asli Yogyakarta: Ibnu Sunanto. Jauh lebih muda dari saya: 50 tahun. Ibnu alumnus Universitas Telkom, Bandung. Kini ia seorang bos besar. Bidang usahanya fintech dan aplikasi digital.
Grup Bimasakti adalah miliknya. Uang digital Qris adalah miliknya. Aplikasi ACI gojek online juga miliknya. Fastpay ia yang punya. Winpay, Speedcash, dan Raja Biller semua miliknya.


Dengan blangkon merah itu saya merasa agak pantas untuk memberi sambutan dalam bahasa Jawa. Mungkin ini pidato bahasa Jawa saya yang pertama selama 25 tahun terakhir.


Bayangkan sulitnya. Rasanya lebih mudah kalau malam itu saya diminta bicara dalam bahasa Mandarin.
Tapi harus bisa. Saya orang Jawa. Saya ingat: pernah berpidato dalam bahasa Jawa. Lebih 25 tahun lalu.

BACA JUGA:Bocah 6 Tahun Depresi Usai Dirudapaksa Ayah Tiri

BACA JUGA:Cari Sinyal hingga ke Kebun Karet Untuk Bisa Ikut ANBK
Waktu itu Pak Harmoko masih menteri penerangan. Beliau minta agar saya melestarikan majalah berbahasa Jawa, Joyoboyo. Tidak boleh mati. Saya harus membiayai dan menanggung kerugian tiap tahunnya. Itu demi budaya dan sastra Jawa.


Suatu saat Joyoboyo mengundang Pak Harmoko untuk tumpengan. Beliau bersedia hadir dengan syarat: semua acara harus dalam bahasa Jawa. Termasuk semua pidatonya.


Berarti saat berpidato nanti beliau juga harus pakai bahasa Jawa. Beliau menyanggupinya.
Saya pun memulai acara dengan sambutan dalam bahasa Jawa. Rahayu. Lancar.


Lalu tiba giliran Pak Harmoko berpidato. Semua mengira akan baik-baik saja. Toh beliau termasuk orang yang bisa mendalang wayang kulit.
Ternyata lucu sekali. Beliau menyerah di menit kelima.

Kategori :

Terkait

Kamis 12 Sep 2024 - 18:32 WIB

Machmud Algae

Selasa 10 Sep 2024 - 17:16 WIB

Blangkon Merah

Minggu 08 Sep 2024 - 20:56 WIB

Sosiologi Ekonomi

Senin 02 Sep 2024 - 20:19 WIB

Tuna Santri

Minggu 01 Sep 2024 - 22:12 WIB

Keretaa Luxury