JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menerima Laporan Kelompok Tani Imam Hasan Desa Badang, Tanjab Barat, Provinsi Jambi atas dugaan persekongkolan Bupati Tanjab Barat, Anwar Sadat dengan pihak PT DAS atas pembagian 20 persen hak masyarakat atas areal Perkebunan Kelapa Sawit.
Surat resmi itu diterima KPK RI pada tanggal 13 Desember 2023. Selain melaporkan ke lembaga anti korupsi ini, kelompok tani Imam Hasan Desa Badang, juga melaporkan ke lembaga hukum lainnya secara resmi.
Ke Menkopolhukam, ke Mabes Polri, serta ke Kejagung RI. Dedi Ariyanto ketua Poktan Imam Hasan dikonfirmasi memgungkapkan, langkah hukum yang diambil bertujuan untuk memperjuangkan hak masyarakat Desa Badang atas PT DAS.
Menurut Dedi, pihaknya mencium aroma dugaan persekongkolan dengan pemufakatan jahat antara PT DAS dan Pemkab Tanjab Barat dalam upaya penyelesaian permasalahan masyarakat 9 desa, di tiga Kecamatan di Tungkal Ulu tersebut.
Dengan kesepakatan final yang telah ditandatangani tersebut, menurutnya sangat jauh berbeda dengan poin-poin kesepakatan kelompok kerja (Pokja) bersama tim terpadu (timdu) penanganan konflik sosial, perwakilan masyarakat 9 desa, PT DAS dan pihak kementerian koordinator bidang politik, hukum dan keamanan republik indonesia (Kemenko polhukam RI) di Jakarta.
Pada rapat pokja di Jakarta bulan Mei lalu lanjutnya, semua pihak telah sepakat bahwa PT DAS akan membangunkan kebun untuk masyarakat seluas 500 hektar paling lambat tanggal 31 Agustus 2023.
Kemudian untuk sisa 1.300 hektar, PT DAS akan berunding dengan masyarakat untuk menentukan pola lain yang disepakati. Namun poin-poin ini satupun tidak ada yang dijalankan oleh PT DAS.
Lebih lanjut menurutnya, pada bulan Oktober tanpa melibatkan timdu dan pokja, Dinas perkebunan mengundang perwakilan 9 desa untuk rapat bersama PT DAS yang menawarkan pola bantuan usaha produktif senilai 22 milyar.
"Disinilah awal kecurigaan kami muncul. Kami menduga ada permainan dan persekongkolan antara PT DAS dan Bupati Anwar Sadat melalui kepala Dinas Perkebunan dalam upaya penyelesaian konflik ini," beber Dedi.
Dari 9 Desa, cuma Desa kami (Satu Desa, red) yang menolak kesepakatan itu. Maka kami pastikan akan terus berjuang demi tegaknya kebenaran dan keadilan bagi masyarakat termasuk dengan melaporkan persoalan ini ke KPK dan lembaga hukum lainnya.
Dia juga menambahkan, Bupati dan jajarannya sebagai fasilitator dan mediator dalam penanganan konflik sosial harusnya bersikap netral, serta menyerahkan sepenuhnya penyelesaian permasalahan kepada kedua belah pihak yang sedang berkonflik.
“Jangan malah menekan dan mengintervensi masyarakat untuk menerima sesuatu yang sifatnya merugikan salah satu pihak,” sebutnya.
Lebih lanjut Dedi mengaku, sebelum munculnya kesepakatan 22 milyar tersebut, perwakilan 9 desa dengan pihak PT DAS telah lebih dahulu bertemu dan menyepakati pola penyelesaian sebagai tindak lanjut hasil rapat pokja Kemenko Polhukam RI.
“Kita sudah dua kali ketemu dengan pihak PT DAS setelah rapat dengan pokja Polhukam bulan Mei dan sudah menyepakati pola penyelesaian," kata Dedi.
"Kok tiba-tiba bupati melalui dinas perkebunan malah mengarahkan camat dan kepala desa untuk mendorong penyelesaian yang jelas-jelas beda dengan kesepakatan awal dan sangat merugikan masyarakat. Ini kan zholim namanya. Makanya kami masyarakat badang mengambil sikap menolak dan akan terus berjuang untuk hak-hak kami,” ungkap Dedi.