"Kita perlu mengeksplorasi pendekatan inovatif yang dapat memperkuat hak-hak anak dan menumbuhkan dunia yang lebih aman bagi mereka," kata Puan, Minggu (2/2) waktu setempat.
Perang, kata Puan dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin, merupakan pelanggaran terbesar terhadap hak-hak anak.
Menurut dia, seluruh pihak perlu menciptakan zona aman di daerah konflik yang didukung oleh organisasi kemanusiaan internasional.
Dia mengatakan bahwa konflik bersenjata terus menggusur, merekrut, dan melukai anak-anak pada tingkat yang mengkhawatirkan. Untuk itu, kata Puan, bantuan kemanusiaan tradisional meskipun diperlukan, tidaklah cukup.
"Kita perlu mengintegrasikan program perlindungan anak ke dalam lembaga keagamaan dan budaya. Karena kita berada di era meningkatnya ketegangan geopolitik, seperti di Gaza dan Ukraina,” kata dia.
Untuk itu, dia pun mengajak seluruh pihak untuk menyediakan tempat berlindung, pendidikan, dan bantuan medis bagi anak-anak yang menjadi korban perang.
Setelah meneken tanda tangan itu, dia pun mengunjungi anak-anak yang menjadi korban atau penyintas perang. Salah satunya adalah Roman Oleksiv, seorang anak penyintas perang Ukraina yang hadir.
Dia mengatakan bahwa anak-anak harus mendapat haknya untuk hidup secara aman. Lebih jauh, dia menilai bahwa anak-anak yang menjadi tentara adalah sebagai korban, bukan penjahat.
"Kita harus berinvestasi dalam program rehabilitasi yang membantu anak-anak tentara berintegrasi kembali ke dalam masyarakat," kata dia.
Untuk mencapai tujuan itu, dia menilai pendidikan adalah kendaraan paling ampuh. Termasuk dalam rangka memberdayakan anak, memecahkan masalah eksploitasi, dan kemiskinan yang masih mendera sebagian anak di dunia.
“Dukungan dan komitmen kita semua sangat penting karena pendidikan tradisional sering kali gagal untuk menjangkau anak-anak yang paling terpinggirkan, terutama mereka yang berada di zona perang, daerah pedesaan, dan kamp pengungsi,” kata dia. (ANTARA)
Kategori :