Ungkapan seperti “Perempuan harus bisa masak dulu baru boleh nikah” atau pertanyaan “Udah bisa bikin opor belum buat keluarga mertua?” jadi semacam standar tak tertulis yang melekat kuat.
Sementara menantu laki-laki cenderung hanya diminta untuk "bekerja keras" dan "bertanggung jawab". Harapan yang tidak seimbang itu bisa membuat proses penerimaan jadi timpang. Ketimpangan itu memperkuat asumsi bahwa beban adaptasi seharusnya lebih banyak ditanggung perempuan.
3. Persepsi Ancaman terhadap Struktur Keluarga
Selain beban harapan sosial, faktor psikologis juga memengaruhi mengapa menantu perempuan kerap dinilai lebih ketat.
Dari perspektif psikologis, pembentukan ikatan keluarga dengan anggota baru dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Kesamaan, status sosial, dan potensi keturunan dapat memainkan peran dalam penerimaan. Teori sistem keluarga menunjukkan bahwa masuknya anggota baru mengganggu sistem yang ada. Itu memerlukan penyesuaian dari semua anggota.
Kehadiran perempuan dalam keluarga pasangan kadang tanpa sadar dianggap sebagai potensi pengubah dinamika dalam keluarga tersebut.
Apalagi jika perempuan itu memiliki kepribadian kuat atau berbeda gaya hidup. Sedangkan laki-laki dianggap netral dan tidak terlalu ikut campur dalam urusan internal keluarga pasangan.
4. Hubungan Ibu Mertua dan Menantu Perempuan
Dinamika yang sering kali kompleks antara ibu mertua dan menantu perempuan merupakan area utama yang dapat mempengaruhi persepsi keseluruhan. Potensi persaingan, perebutan kekuasaan, dan harapan yang berbeda dapat menciptakan tantangan.
Hal itu tidak semata karena perbedaan karakter. Melainkan juga karena dinamika kuasa dan ekspektasi yang tertanam secara sosial.
Dalam banyak kasus, ibu mertua merasa memiliki “otoritas” atas urusan rumah tangga anak laki-lakinya. Terutama jika anak tersebut sangat dekat dengan ibunya sejak kecil.
Strategi untuk meningkatkan hubungan ibu mertua/menantu perempuan meliputi komunikasi terbuka, saling menghormati, dan menetapkan batasan.
Meski berbagai faktor budaya, sosial, dan psikologis turut membentuk kesenjangan perlakuan antara menantu laki-laki dan perempuan, penting untuk diingat bahwa setiap keluarga memiliki dinamika yang unik.
Tidak semua keluarga menerapkan pola yang sama. Dan hubungan yang sehat tetap sangat mungkin tercipta, terlepas dari gender.
Komunikasi terbuka, saling menghormati, serta kesadaran akan bias sosial bisa menjadi kunci untuk membangun relasi yang setara dan harmonis di antara anggota keluarga baru. (*)