Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang merasa canggung saat menerima pujian, rezeki tak terduga, atau bahkan kebaikan dari orang lain.
Alih-alih bersyukur dan menikmati, mereka justru dicekam perasaan tidak layak. Seolah-olah kebaikan itu adalah suatu kekeliruan yang ditujukan pada orang yang salah. Fenomena itu kerap disebut sebagai impostor syndrome.
Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Pauline Clance dan Suzanne Imes pada tahun 1978.
Mereka menggambarkan kondisi itu sebagai pola pikir. Yakni ketika seseorang merasa tidak pantas atas pencapaiannya sendiri, meskipun terdapat bukti objektif bahwa ia memang layak mendapatkannya.
BACA JUGA:Berutang Pada Teman Demi Gaya Hidup?
BACA JUGA:Justin Hubner Dilepas Wolverhampton Wanderers
Tak hanya dialami dalam konteks pekerjaan atau akademik, perasaan itu juga muncul dalam aspek relasi dan kehidupan personal, saat mendapat pasangan yang suportif, keberuntungan finansial, atau sekadar pujian atas kerja keras.
Menurut American Psychological Association (APA), impostor syndrome bisa menyebabkan kecemasan, stres kronis, hingga menghambat pengembangan diri.
Seseorang yang mengalaminya kerap meragukan kemampuan pribadi, merasa dirinya hanya "beruntung," dan khawatir akan "ketahuan" sebagai sosok yang sebenarnya tidak sehebat itu.
Namun, tekanan mental itu tidak berdiri sendiri. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesederhanaan dan pengorbanan, rasa tidak pantas kerap diperkuat oleh budaya.
Misalnya, ketika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang menekankan bahwa keberhasilan harus selalu "dibayar" dengan kerja keras ekstrem, maka pencapaian yang datang tanpa penderitaan berat bisa memicu rasa bersalah.
Itu dikenal sebagai cultural guilt, kondisi saat rasa syukur dibayangi oleh perasaan bahwa seseorang sedang melanggar norma tak tertulis tentang "cara yang benar" untuk berhasil.
Budaya kolektif juga memainkan peran penting. Dalam komunitas yang sangat menjunjung kerendahan hati, ekspresi percaya diri atau penerimaan atas pencapaian sering dianggap sebagai kesombongan.
Akibatnya, individu belajar untuk meremehkan diri sendiri sebagai bentuk adaptasi sosial. Hingga perasaan itu tertanam menjadi keyakinan internal.
Riset dari International Journal of Behavioral Science tahun 2011 menyebutkan bahwa sekitar 70 persen orang pernah mengalami gejala impostor syndrome setidaknya sekali dalam hidup mereka.