Jakarta - Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menyebut penggunaan skema credit scoring sebagai kriteria penilaian pemberian kredit dapat menurunkan kemungkinan gagal bayar nasabah atau probability of default sebanyak 4 persen.
“Beberapa riset menunjukkan dengan credit scoring yang ditambahkan data alternatif dapat meningkatkan persetujuan sebesar 10 persen dan menurunkan probability of default sebesar 4 persen dibandingkan dengan penilaian yang hanya menggunakan data konvensional,” kata Deputi Bidang Usaha Mikro KemenKopUKM Yulius saat konferensi pers di Kantor KemenKopUKM, Jakarta, Jumat.
BACA JUGA:Sembuhkan Masuk Angin Setelah Kehujanan
BACA JUGA:Ini 7 Rekomendasi Kado untuk Imlek
Deputi Yulius menjelaskan pada awalnya credit scoring hanya menggunakan data konvensional, seperti data identitas, data biro kredit dan data perbankan. Namun kini pemerintah tengah menggodok skema credit scoring menggunakan sumber data di luar data konvensional, yaitu data alternatif, seperti data jaminan sosial (BPJS), data penggunaan listrik, data transaksi e-commerce, data media sosial, data perpajakan dan data lain tersedia dari Sistem Satu Pintu (SSO).
Melalui penggambaran kebiasaan finansial UMKM secara lebih tepat tersebut, disebutnya, dapat mempermudah pelaku UMKM yang selama ini kesulitan mengakses pembiayaan karena tidak mempunyai agunan yang bisa dijaminkan.
Data alternatif credit scoring, kata Yulius, dapat menggambarkan kebiasaan UMKM secara lebih tepat, sehingga meningkatkan kepercayaan perbankan dan dapat memberikan pinjaman tanpa perlu agunan tambahan.
“Manfaat menggunakan model credit scoring yaitu dapat meningkatkan approval dan menjaga risiko, sehingga credit scoring dapat menjangkau penyaluran kepada UMKM yang unbankable atau tidak dapat mengakses pembiayaan bank, sehingga meningkatkan perluasan distribusi KUR,” ucapnya.
Tak sampai di situ, KemenKopUKM juga menilai penggunaan data alternatif dalam credit scoring juga dapat meningkatkan prediksi risiko kredit atau prediksi risiko gagal bayar untuk nasabah baru yang belum pernah akses kredit perbankan.
“Hal itu tentu menjadi solusi penilaian kredit yang lebih adil dan inklusif dalam pasar kredit yang sudah berkembang dan sebagai sumber informasi baru tentang konsumen yang dapat meningkatkan prediksi risiko kredit untuk nasabah baru,” tambahnya.
Lebih lanjut Yulius menuturkan bahwa saat ini sudah terdapat sekitar 20 fintech yang sudah menggunakan credit scoring untuk menambahkan penyaluran kredit kepada konsumen, namun masih belum optimal. Ditargetkan pada akhir 2024, penggunaan credit scoring dapat meluas hingga ke perbankan, koperasi dan lembaga keuangan non bank. (ant)