Beras Bansos

Senin 26 Feb 2024 - 22:15 WIB
Reporter : Dahlan Iskan
Editor : Dahlan Iskan

Saya perhatikan tamu saya yang lagi makan: hanya sedikit mengambil nasi. Begitu juga keesokan harinya.


''Kenapa?''


''Nasi di sini kurang enak,'' jawabnya. ''Maafkan,'' tambahnya buru-buru.


''Iya. Benar,'' sahut teman wanitanya.


Baru sadar: sudah 15 tahun terakhir saya pun harus memuji nasi di semua resto di Tiongkok. Punel. Wangi. Yang seperti itu dulu hanya saya temui di Jepang. Lalu di Korea. Kini Tiongkok ikut selera nasi Jepang.


Saya juga ingat: sekitar 20 tahun lalu. Hanya satu wilayah di Tiongkok yang punya ''nasi Jepang''. Yakni provinsi Heilongjiang. Dongbei. Pojok timur laut Tiongkok. Dekat Rusia-timur. Juga dekat bagian utara Korea Utara.


Saya masih ingat setiap kali ke Harbin –ibu kota Heilongjiang– pulangnya selalu diberi oleh-oleh beras Harbin: 5 kg.
Meiling adalah orang Harbin. Kawin dengan lelaki Singapura –ikut warga negara suaminyi. Kini lebih sering Meiling yang ke Indonesia.

Begitu cepat wabah ''nasi Harbin'' menjalar ke seluruh Tiongkok. Begitu cepat selera orang di sana berubah –mengikuti kemajuan ekonomi mereka. Begitu mudah mereka melupakan rasa nasi lama.


Meski sering makan nasi ala Harbin saya tidak sampai melupakan rasa nasi lama. Saya tidak mengharuskan istri membeli beras kelas itu. Terima kasih lidah. Anda begitu fleksibel. Dapat nasi Harbin Alhamdulillah. Pun ketika dapat nasi dapur istri saya.


Fleksibilitas lidah itu bersumber dari ekspektasi. Dugaan saya: lidah bisa fleksibel karena tidak pernah punya ekspektasi bisa selalu makan nasi Harbin.


Ekspektasi kebanyakan orang cukuplah: beras ada. Tidak harus ngetan dan wangi. Cukup enak cukup –untuk lidah fleksibel. Berharap juga harga pun terjangkau.


Tahap ''ada beras'' dan ''beras cukup'' pernah tercapai. Yakni di zaman mertua presiden terpilih sekarang jadi presiden.


Setelah itu harusnya kita naik kelas: dari ''ada'' dan ''cukup'' ke rasa yang lebih enak.


Ternyata kita tidak bisa naik kelas. Tidak pernah bisa. Kita begitu cinta pada kelas yang sama. Bahkan status ''cukup'' itu pun  masih sering terganggu: harus impor.


Setiap presiden takut inflasi. Begitu muncul ramalan bahwa stok beras menipis keputusannya cepat: impor beras! Kalau tidak, akan inflasi. Harga beras sangat sensitif pada inflasi.

Kategori :

Terkait

Senin 25 Nov 2024 - 20:40 WIB

Mampir Guyon

Minggu 24 Nov 2024 - 21:04 WIB

Wanita Global

Kamis 21 Nov 2024 - 18:12 WIB

Kokkang Ibunda

Rabu 20 Nov 2024 - 19:39 WIB

Bergodo Kebogiro

Selasa 19 Nov 2024 - 17:43 WIB

Critical Parah