Dominasi Amerika Serikat dan kesenjangan kualitas antar tim sudah tak terlihat lagi, terutama pada Piala Dunia 2023, di mana AS disingkirkan oleh Swedia pada babak 16 besar yang menguatkan sudah meratanya kualitas sepak bola putri.
Untuk pertama kalinya AS yang sudah empat kali menjuarai Piala Dunia Putri, tersingkir lebih cepat dari Piala Dunia.
Prancis menjuarai turnamen itu setelah mengalahkan Inggris dalam laga final yang berkesudahan 1-0.
Namun sepak bola profesional putri masih relatif baru dan belum sekelas sepak bola putra.
BACA JUGA:Faktor Piala Dunia 2023
BACA JUGA:KIAN KOMPETITIF DAN INDUSTRIAL
Piala Dunia 2023 saja, dari semua pemain yang mengikuti turnamen ini hanya 40 persen yang merupakan pemain profesional.
Lebih menyedihkan lagi, menurut survei yang dilakukan Fifpro, 30 persen dari pemain-pemain Piala Dunia 2023 tak mendapatkan bayaran dari federasi sepak bolanya.
Para atlet sepak bola putri di negara-negara miskin bahkan jauh lebih buruk lagi. Kebanyakan mereka bermain tidak sesering rekan-rekannya di Eropa. Ini membuat mereka tertinggal dari yang lain.
Misalnya, skuad putri Timnas Nigeria yang sektor putranya begitu perkasa, hanya bermain 40.000 menit sebelum berlaga dalam Piala Dunia 2023. Angka ini sepertiga waktu yang dihabiskan rekan-rekannya di Inggris dan Spanyol.
BACA JUGA:Umi Pipik Ingatkan Hati-hati atas Dosa Ghibah
BACA JUGA:Ivan Gunawan Rencanakan Kunjungan ke Masjidnya di Uganda
Meski begitu, potensi sepak bola putri tetap besar, bahkan menawarkan peluang kepada negara-negara yang tim putranya terlalu sulit menembus level atas kompetisi internasional.
Lihat saja, Norwegia yang tim putranya jarang terlibat dalam level puncak sepak bola global dan regional, malah pernah menjuarai Piala Dunia Putri 1995.
Amerika Serikat yang juara empat kali Piala Dunia Putri dan Jepang yang menjuarai edisi 2011 di Jerman, juga jarang tampil sampai level puncak dalam sepak bola kelas atas seperti Piala Dunia FIFA.