Gelap Cahaya
Disway--
BERENAM kami ke masjid itu. masjid di pusat kota Fuzhou, ibu kota provinsi Fujian.
Masjid besar. Kosong. Gelap. Padahal sudah waktunya salat magrib –salat ''tiga unit gerakan'' di waktu matahari terbenam.
Gerbang depannya tutup. Ini gerbang baru. Temboknya tinggi sekali. Bernuansa Islami.
"Lewat samping," ujar Alwi Arifin, dosen Bahasa Indonesia asal pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Alwi sudah biasa ke masjid itu. Tiap Jumat. Tapi baru sekali ini datang di waktu magrib.
BACA JUGA:29.000 Pelajar dan Guru SMK Ikuti Festival Vokasi Satu Hati
BACA JUGA: Tiga Pelaku Perampasan Kendaraan Ditangkap di Mapolres Batanghari
Kami pun masuk lewat gerbang samping. Memasuki koridor. Itulah koridor yang memisahkan bangunan gerbang depan dengan bangunan masjid.
Gerbang depan itu sekaligus untuk kantor, penunggu masjid, dan ruang pertemuan. Bangunan masjidnya sendiri sepenuhnya untuk ruang ibadah.
Setelah berwudu kami masuk masjid. Berwudu adalah ritual membasuh muka, tangan, dan kaki sebelum salat.
Sambil meraba-raba di kegelapan kami memasuki pintu utama masjid. Pintu besar. Benar-benar gelap.
Di dalam masjid kami menyebar ke segala arah: mencari di mana saklar untuk menghidupkan lampu. Termasuk dua mahasiswa yang Buddha dan Kristen itu. Ikut sibuk.
Mereka pun menyalakan flash di handphone. Lumayan. Masjid ini besar. Semua area di dekat pintu diraba. Tidak ketemu. Saya menuju tempat imam –biasanya ada saklar di situ. Juga tidak ada.
Rupanya ada on-off tersentral di kantor masjid. Kantornya terkunci.
Alwi lari ke bangunan depan. Ia menemui penjaga masjid. Ia merayunya untuk menyalakan lampu sentral. Tidak berhasil.
Petugas itu tidak berani melangkahi prosedur. Ia justru mengatakan mengapa harus menyalakan lampu. Kan cukup pakai bocoran cahaya dari koridor.
Memang lama-lama terasa tidak gelap. Sebersit cahaya dari gerbang sudah bisa mengusir gelap. Kata ''mengusir'' itu tidak tepat.
Kata ''gelap'' hanyalah ciptaan penyair. Di mata ilmuwan gelap itu tidak ada. Yang ada adalah cahaya. Gelap terjadi karena tidak ada cahaya.
Maka di remang-remang cahaya itu kami menuju arah imam biasa memimpin salat.
Saya minta Alwi yang jadi imam. Alwi justru memaksa saya jadi imam. Terjadilah saling paksa.
Akhirnya saya bisiki telinga Alwi: "Anda saja yang jadi imam. Saya baru saja murtad".
Alwi pun tersenyum. Saya langsung mengumandangkan iqamah. Serasa Novi Basuki lagi jadi imam di depan saya.
Rupanya teman yang Buddha dan Kristen tadi mengabadikan kami salat. Entah dari mana mereka dapat cahaya (lihat foto).
Sebenarnya ada satu teman lagi yang bisa dipaksa jadi imam: Moh Khodir. Ia, dulu, guru bahasa Mandarin Alwi di pondok Nurul Jadid. Juga guru mandarinnya Novi Basuki. Khodir kini lagi di Fuzhou: menyelesaikan S-3. Ia calon doktor di bidang kurikulum.
Khodir adalah generasi pertama santri Nurul Jadid yang bisa bahasa Mandarin. Juga asli Probolinggo. Juga suku Madura pendalungan. Juga rendah hati dan menjaga sopan santun yang tinggi.
"Di sini bisa menyelesaikan S-3 selama tiga tahun dianggap pintar. Kalau empat tahun dianggap kurang pandai," ujar Khodir. "Saya sudah empat tahun belum selesai," tambahnya.
Apakah disertasinya nanti juga ditulis dalam bahasa Mandarin?