Mengenal Fenomena Cancel Culture Pada Era Digital

--
Cancel culture di era digital sering kali muncul dalam berbagai bentuk. Mulai dari boikot, kampanye digital, hingga penghapusan akses terhadap individu atau kelompok tertentu.
Fenomena itu tidak hanya menimpa tokoh terkenal. Tetapi juga dapat berdampak pada masyarakat umum yang unggahannya menjadi viral dan menuai kontroversi.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana fenomena itu bekerja. Terutama dalam konteks era digital yang serba cepat dan tidak memiliki batasan
Dengan algoritma yang mendukung viralitas, sebuah isu dapat meluas secara masif dalam waktu singkat.
Dinamika Media Sosial dan Cancel Culture
1. Cepatnya penyebaran informasi: Media sosial memungkinkan suatu kasus atau opini menjadi viral dalam hitungan menit. Hal itu dapat mengubah persepsi publik secara drastis tanpa adanya proses verifikasi yang memadai.
2. Anonimitas dan keberanian digital: Banyak pengguna media sosial yang berani mengungkapkan kritik. Atau serangan terhadap seseorang karena merasa aman di balik layar. Hal itu mempercepat persebaran cancel culture tanpa batasan yang jelas.
3. Algoritma yang mendorong polarisasi: Platform digital cenderung menampilkan konten yang mendukung pandangan pengguna.
Sehingga menciptakan gelembung informasi yang memperkuat opini tertentu. Itu membuat cancel culture semakin sulit dikendalikan. Karena muncul efek domino dari reaksi publik.
Dampak Cancel Culture dalam Dunia Digital
- Dampak sosial: Masyarakat menjadi lebih sensitif terhadap isu-isu sosial, tetapi juga lebih reaktif dalam menjatuhkan sanksi moral terhadap individu atau institusi.
· Dampak personal: Individu yang terkena cancel culture sering mengalami tekanan psikologis, kehilangan pekerjaan, atau bahkan kehilangan hak bersuara di dunia maya.