Mengenal Fenomena Cancel Culture Pada Era Digital

--
Cancel culture bukan sekadar tren. Melainkan fenomena yang tumbuh subur dalam ekosistem digital saat ini.
Era media sosial membuat informasi menyebar dalam hitungan detik. Hal itu memungkinkan opini publik dapat terbentuk secara instan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan banyak kasus. Berbagai individu atau kelompok tertentu tiba-tiba menjadi sasaran kritik luas di media sosial.
Fenomena itu berawal dari meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu-isu sosial. Seperti diskriminasi, pelecehan, dan ketidakadilan.
Namun, dengan perkembangan teknologi dan kecepatan informasi, cancel culture berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Dan berpotensi memunculkan dampak positif maupun negatif yang besar.
Sebuah unggahan atau pernyataan kontroversial dapat langsung mendapat reaksi luas. Baik berupa dukungan maupun kecaman.
Perubahan itu telah menggeser cara masyarakat berinteraksi, bereaksi, serta memberi hukuman sosial terhadap individu atau kelompok tertentu.
Tidak jarang individu yang terkena cancel culture menghadapi konsekuensi serius. Seperti kehilangan pekerjaan, reputasi, atau bahkan kesejahteraan mental.