Tingtal Sebahu

Disway--

Saya beruntung. Sopir travel saya ini banyak tahu pergolakan di Tigray. Bahkan ia pernah ditahan. Satu tahun. Istrinya pun ikut ditahan. Bersama dua anak kecilnya: umur 4 tahun dan bayi enam bulan.

 

Dari Makelle mobil langsung mendaki gunung. Gunung kering. Tidak bisa cepat. Banyak truk gandeng termehek-mehek di depan.

 

Ada truk gandeng berarti ada kegiatan ekonomi. Saya pun tahu: mengapa perjalanan ini harus dua jam. Bukan karena jauh. Jarak Makelle-Nagesh hanya 60 km.

 

Sesekali si sopir menggerakkan jari tangan ke tiga arah di dada dan dahi. Itu dilakukan setiap kali ia melihat ada salib di atas gereja. Ia penganut Kristen Ortodok. Itulah agama 99 persen suku Tigray yang sekitar 7 juta orang. Tigray dikenal sebagai penganut Ortodok terbesar di dunia.

 

Ia tahu Nagesh. Sudah beberapa kali mengantar tamu dari berbagai negara ke situ. Ia juga tahu Islam. Kebiasaan orang Islam. Tahu beberapa kata bahasa Arab. Bisa mengucapkan Assalamualaikum. Ia tahu di masa lalu pernah ada orang Islam mengungsi dari Mekah ke Nagesh.

 

Di pertengahan jalan kami melewati satu kota. Menakjubkan. Di kanan kiri jalan penuh bangunan baru. Beton. Mangkrak. Dua lantai. Atau tiga. Empat. Lima. Struktur betonnya sudah jadi tapi baru setengah jadi.

 

Dari strukturnya terlihat itu adalah calon bangunan rumah. Perumahan. Masif. Ribuan rumah. Membentuk satu kota tersendiri. Kota beton yang mangkrak.

 

Setidaknya sudah tiga tahun mangkrak seperti itu. Setidaknya sudah terlihat bahwa ada "revolusi" perumahan rakyat. Revolusi perumahan itu sudah mulai dilaksanakan. Pun di pedalaman. Pertanda Ethiopia bangkit tidak hanya di Addis Ababa.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan