Dosen FH Unja Farisi, Kritik Gaya Public Speaking Pejabat Negara: Gunakan Hati Jangan Asumsi

Mochammad Farisi-jambi independent-Jambi Independent
Lagi ramai nih perbincangan tentang gaya komunikasi dan public speaking para pejabat negeri ini yang menuai banyak sorotan, cibiran dan kritik dari netizen, padahal mereka digaji dari tetes keringat rakyat, seharusnya mampu menunjukkan rasa simpati dan empati terhadap rakyat.
Beberapa kata dan kalimat ‘blunder’ yang dianggap negatif menuai kontroversi diataranya: saat rakyat bertanya/mengkritik kebijakan pemerintah justru direspon dengan kalimat “ndas mu” “anjing menggonggong” “kampungan” “kau yang gelap” “kabur aja, gausa balik lagi”, dan yang paling menyakitkan bagi insan media adalah respon kepala kantor komunikasi presiden terkait teror kepala babi di kantor media Tempo justru ditanggapi dengan kalimat “yauda dimasak aja”.
Seharusnya para pejabat bisa menggunakan diksi dan gaya komunikasi yang lebih positif, menyejukkan, menenangkan bukan justru memprovokasi dan terkesan sentimen anti kritik.
Teranyar, yang dikritik netizen adalah gaya public speaking yang kaku pejabat sekelas menteri pariwisata saat menjadi pembicara kunci dalam forum internasional.
BACA JUGA:Pensiun Bukan Berarti Santai!
BACA JUGA:Teknik Mirroring: Strategi Ampuh untuk Memperbaiki Hubungan Suami Istri
Sebagai akademisi dan praktisi komunikasi yang telah berkecimpung di dunia public speaking sejak 2016, saya akan menganalisis beberapa hal yang harus dibenahi dari gaya komunikasi pejabat sehingga akan menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Pertama, yang harus disadari adalah kata-kata itu bukan benda mati yang hampa, tapi penuh dengan makna, kata-kata bisa menyembuhkan, mengobati dan menginspirasi, sebaliknya kata-kata juga bisa menyakiti dan membuat luka hati (meskipun maksud anda bercanda, tapi di publik candaan anda bisa salah tafsir bagi mayoritas orang).
Maka hati-hati saya membuat statemen, anda pejabat dan public figure, maka pahami dulu permasalah baru merespon dengan kalimat yang bijak.
Kedua, komunikasi itu melibatkan hati. Jadi ada hubungan batin antara komunikator dengan komunikan. Rumusnya adalah “empati, empati, empati, logika”, artinya pada saat pejabat merespon suatu kejadian maka yang paling penting adalah menunjukkan rasa empati, baru menggunakan logika, itulah kenapa kata empati disebut sampai 3x.
Contoh: bila dikritik. karena terjadi banjir, maka gaya komunikasi yang dilakukan adalah meninjau langsung lokasi, bahkan bila perlu berkantor di kantor camat/lurah selama bencana, hadir di tengah-tengah masyarakat yang sedang tertimpa musibah (ini yang disebut empati). Tentu hadir tidak sekedar hadir, tapi mempelajari akar masalah dan memberikan solusi (ini makna logika).
Ketiga, komunikasi itu tidak hanya keahlian berkata-kata verbal tapi juga non-verbal. Ada teori dari Albert Mehrabian 1972, bahwa 3 hal penting dalam komunikasi adalah verbal (7%), vocal (38%), dan visual (55%). Ternyata visual menempati pengaruh paling tinggi, maka penampilan anda, gesture tubuh, semangat/antusias, cara berjalan, cara berjabat tangan, kontak mata, senyuman ramah, dan rasa percaya diri akan lebih berdampak dan memberikan kesan yang baik bagi audience.
Keempat, pemimpin punya fungsi to influence (mempengeruhi orang). Maka setiap kata dan kalimat harus mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Kalimat yang diutarakan harus mampu memberikan energi dan menggerakkan masyarakat, untuk itu pemimpin wajib terlibat langsung dan berada di garis depan dalam pergerakan. Contoh, narasi untuk memerangi korupsi, maka pemimpin harus memberikan teladan hidup sederhana (bukan baru menjabat langsung beli mobil dinas baru), tertib melaporkan LHKPN, membuat system pencegahan korupsi, mendorong integrtias APH dan mengesahkan UU Perampasan Aset. Bila narasi anti korupsi itu hanya sebatas kata, maka orang tidak akan percaya, tidak tergerak dan justru dicap ‘omon-omon‘ saja.
Kelima, bila memberikan informasi kepada masyarakat maka harus diperkuat dengan data yang akurat jangan hanya mengandalkan asumsi. Pertama harus mengetahui dasar hukum yang mengatur suatu kebijakan, kedua argumentasi akan kuat bila berbasis hasil riset atau pengalaman baik (best practice), dan terakhir informasi berasal dari sumber resmi terpercaya dan bukan hoax.