Italian Brainrot dan Edukasi Digital untuk Anak

-IST/Jambi Independent-Jambi Independent

Anak-anak yang terus-menerus menonton konten tak berjiwa juga bisa kehilangan empati. Mereka terbiasa melihat aksi berlebihan, suara nyaring, dan respons yang tidak manusiawi.

Dunia digital telah membiasakan mereka pada ketidaknyataan yang glamor namun kosong. Sayangnya, bukan hal mudah memutus rantai itu. “Makin dilarang, makin mereka penasaran. Makin dikekang, makin ingin kabur,” ujarnya.

Solusinya, menurut Lisa, bukan larangan. Bukan juga menyita gadget lalu mengurung anak di kamar. Justru kuncinya adalah relasi. Komunikasi yang hangat. Orang tua dan guru perlu jadi teman bicara, bukan hakim.

“Kalau kita hanya melarang tanpa menjelaskan, anak-anak akan mencari sendiri jawabannya. Dunia digital punya seribu satu cara untuk memikat mereka,” jelas Lisa.

Ia menekankan bahwa perlindungan terbaik untuk anak bukanlah dari aplikasi pemantau atau filter konten. Tapi dari kehadiran orang dewasa yang penuh kasih. Juga konsisten dalam membangun komunikasi.

“Anak harus merasa dirinya berharga. Bukan karena diterima oleh teman, tapi karena tahu dia dikasihi. Kalau rumah sudah memberi rasa aman, anak tak akan mudah goyah di luar,” ujarnya.

Lisa juga menekankan pentingnya edukasi bagi orang tua dan guru. Bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal nilai.

Dunia maya boleh liar. Tapi anak-anak perlu diberi fondasi yang kokoh. Bukan dengan bentakan. Bukan pula dengan kepanikan. Tapi dengan cinta yang cerdas dan kesabaran yang konsisten.

Di tengah derasnya tralalero tralala dan Ballerina Cappucina, mungkin memang sulit bagi anak untuk membedakan yang nyata dan yang khayal.

Tapi dengan pendampingan yang bijak, mereka tetap bisa tumbuh utuh. Bukan sekadar penikmat layar, tapi sebagai manusia yang punya logika, hati, dan empati. (*)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan