Panglima Merah

Dahlan iskan--
Orang sakti memang dikesankan penuh misteri. Dua orang di antara kursi itu bisa sedikit menjelaskan: waktu muda Panglima Jilah pekerja kasar di sekitar Mempawah. Lalu menghilang lama. Cerita yang beredar: ia bertapa di gunung. Bertahun-tahun. Dari situlah diperoleh kesaktian.
Gelar "Panglima Jilah" sendiri kelihatannya untuk mewarisi mitos yang selama ini hidup di lingkungan masyarakat Dayak: "Panglima Burung". Yakni tokoh misteri yang di saat kritis akan muncul membela dan menyelamatkan orang Dayak. Itu yang membuat orang Dayak menjadi pemberani dalam perang: mereka percaya akan dilindungi oleh ruh Panglima Burung.
Panglima Burung digambarkan sebagai orang baik, suka perdamaian, pendiam, pemalu, sopan, tapi berubah menjadi garang, kejam dan ganas bila orang Dayak dimusuhi.
Dalam peristiwa pembantaian di Sambas (Kalbar) sampai Sampit (Kalteng) tahun 2002, dipercaya saat itu Panglima Burung-lah yang merasuki jiwa-jiwa orang Dayak.
Maka ketika kini muncul tokoh "Panglima Jilah" kesan yang muncul adalah personifikasi "Panglima Burung". Hanya yang sekarang ini tokohnya riel. Manusianya ada. Panglima Jilah orangnya. Nyata. Sedang Panglima Burung lebih bersifat mitos.
Pengetahuan saya tentang Panglima Jilah sangat dangkal. Kali pertama mendengar kata "Panglima Jilah" sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu saya ke Pontianak. Jalan macet. Ternyata sedang ada apel besar Bahaupm Bide Bahana. Arti sederhananya: apel gotong royong. Lokasinya di Tariu Borneo Bangkule Rajakng, rumah adat Dayak di pusat kota Pontianak.
Di sekitar lokasi itu suasananya serba merah. Serba Dayak. Mereka adalah Pasukan Merah di bawah pimpinan Panglima Jilah. Itulah apel dukungan Pasukan Merah untuk Jokowi. Termasuk untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara, IKN. Jokowi sendiri di apel itu mengenakan topi Dayak dengan bulu burung Enggang yang menjulang.
Setahun kemudian Panglima Jilah bertemu Presiden Jokowi lagi: di IKN. Panglima Jilah menyampaikan harapannya agar Jokowi terus membangun Kalimantan.
Tahun ini ganti Gibran yang bertemu Panglima Jilah. Lokasinya lebih istimewa: di rumah Panglima Jilah di Sambora.
Kalau Anda bermobil dari Pontianak ke arah Singkawang, Anda akan melewati kota kecil bernama Sungai Pinyuh. Di situ ada pertigaan. Kalau lurus Anda akan ke Singkawang. Kalau belok kanan Anda akan ke Sintang.
Untuk ke Sambora Anda ikut yang ke arah Sintang itu. Sekitar 20 menit dari pertigaan itu Anda belok kiri. Ke jalan sempit. Sejauh lima kilometer. Rasanya jalan itu hanya bisa untuk lewat satu mobil. Tibalah Anda di desa Sambora.
Gibran tidak menyusuri jalan sempit itu. Ia naik helikopter dari Pontianak. Ada helipad tidak jauh dari rumah Panglima Jilah. Helipad permanen. Terbuat dari beton. Landasan heli itu terlihat belum terlalu lama dibangun.
Sebelum lari pagi Minggu kemarin saya baca berita lokal mengenai kedatangan Gibran ke rumah Panglima Jilah. Di situ Gibran meresmikan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ada juga acara penyerahan beasiswa ke pelajar Dayak yang berprestasi.
Lalu Gibran menerima kajian akademik dari Panglima Jilah: perlunya dibentuk kabupaten baru di lokasi itu. Panglima Jilah pun berpesan agar Gibran meneruskan apa yang dilakukan Presiden Jokowi.