Hasil Demo

Dahlan iskan--
Saya tahu adanya film Dying to Survive dari dr Jagaddhito yang kemarin datang ke Beijing dari Rizhao --tempatnya mengambil gelar subspesialis jantung intervensi.
Di Rizhao, Shandong, Jagad kaget melihat di RS itu harga-harga obat sangat murah. Pun harga-harga ring jantung dan kelengkapan lainnya.
Dokter Jagaddhito terus bertanya mengapa bisa murah. Akhirnya ia memperoleh penjelasan bahwa murahnya harga obat baru terjadi beberapa tahun terakhir. "Sejak ada film Dying to Survive".
Itu tahun 2018.
Seorang penduduk kota Yiyang, provinsi Hunan, sakit kanker darah (leukemia). Kota Yiyang berada satu jam naik mobil dari kota besar Changsha --tiga jam dari Wuhan ibukota provinsi sebelah.
Nama orang itu Lu Yong. Ia mengeluhkan mahalnya obat leukemia --yang non-BPJS. Berkat internet ia tahu harga obat di India jauh lebih murah. Tidak sampai 20 persennya. Maka ia minta temannya untuk secara diam-diam ke India membelikan obat kankernya.
Akhirnya teman-teman sesama penderita minta obat itu. Jadilah orang tadi "penyelundup" obat kanker. Kian banyak jumlah obat yang ia bawa dari India. Akhirnya ketahuan. Orang itu ditangkap. Dimasukkan penjara.
Saat itulah para keluarga pasien kanker berdemo. Mendatangi penjara. Mereka membawa poster agar orang itu dibebaskan. "Ia bukan penjahat. Ia penyelamat keluarga kami."
Luar biasa dampak demo itu. Pemerintah ambil tindakan cepat. Perusahaan obat --perusahaan asing di Tiongkok-- dinilai terlalu banyak mengambil keuntungan.
Pemerintah sendiri mengoreksi diri: salah satu kemahalan itu akibat pajak. Langsung saja 41 jenis obat dihapus pajaknya.
Bukan hanya harga obat yang turun --sampai 63 persen-- aturan untuk memproduksi obat pun diubah. Disederhanakan.
Perdana Menteri (waktu itu) Li Keqiang, langsung merevolusi sistem obat dan kesehatan di Tiongkok. "Rakyat tidak perlu lagi memilih hidup atau bangkrut," katanya.
Sejak saat itu pelayanan kesehatan masyarakat jadi lebih adil. Yang berobat di BPJS pun mendapat obat dengan kualitas yang sama dengan yang non-BPJS.
Boleh dikata film Dying to Survive adalah film yang sukses dunia-akhirat. Film itu telah mengubah sistem kesehatan negara. Aspirasi lewat film pun begitu didengar.
Secara bisnis, film ini memang mengeruk keuntungan yang besar. Dalam 11 hari pertama peredarannya sudah menghasilkan pendapatan Rp 5 triliun. Lalu menjadi Rp 10 triliun. Termasuk film terlaris sepanjang masa di Tiongkok.