Membenahi Proses Legislasi: Harapan pada DPR RI

ABU BAKAR--
Oleh: Abu Bakar
SALAH satu tugas utama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah membentuk peraturan perundang-undangan. Tugas ini bukan sekadar teknis merumuskan pasal-pasal hukum, melainkan wujud dari tanggung jawab konstitusional DPR sebagai representasi rakyat. Undang-undang yang lahir dari ruang parlemen seharusnya menjawab kebutuhan masyarakat, mengakomodasi aspirasi publik, serta menghadirkan keadilan dan kepastian hukum.
Namun, perjalanan pembentukan peraturan di negeri ini seringkali tidak berjalan ideal. Proses legislasi yang kompleks masih menyisakan banyak persoalan: partisipasi publik yang minim, praktik korupsi legislasi, penyelundupan hukum, hingga tumpang tindih aturan yang membingungkan masyarakat. Pada titik inilah, fungsi DPR sebagai “wakil rakyat” kerap dipertanyakan.
DPR dan Tantangan Legislasi
Kritik terbesar terhadap DPR dalam pembentukan undang-undang adalah soal minimnya keterlibatan publik. Alih-alih terbuka, pembahasan RUU sering berlangsung dalam ruang tertutup, jauh dari jangkauan masyarakat. Akibatnya, undang-undang yang dihasilkan tidak jarang lebih mencerminkan kepentingan elit politik atau kelompok tertentu, ketimbang kebutuhan masyarakat luas.
Selain itu, korupsi legislasi menjadi ancaman serius. Celah ini muncul ketika proses pembahasan berlangsung eksklusif, sehingga pasal-pasal bisa disusupi kepentingan pragmatis. Fenomena “penyelundupan hukum” juga memperburuk keadaan, di mana substansi RUU bisa berubah setelah disahkan dengan alasan “perbaikan teknis”. Kasus UU Cipta Kerja menjadi contoh bagaimana praktik ini merusak kepercayaan publik terhadap legislasi.
Tak kalah pelik, obesitas regulasi memperlihatkan tumpang tindih aturan akibat terlalu banyak kementerian yang membuat peraturan tanpa koordinasi. Hal ini menimbulkan kebingungan di tingkat implementasi, baik bagi masyarakat maupun pelaku usaha. Akibatnya, hukum justru menjadi beban, bukan solusi.
Mencari Jalan Perbaikan
Menghadapi kompleksitas tersebut, ada sejumlah strategi yang perlu dipikirkan untuk membenahi proses legislasi di Indonesia.
Pertama, penguatan kelembagaan legislasi sangat penting. DPR harus memperkuat fungsi alat kelengkapan khusus legislasi, sekaligus membangun pusat kajian hukum (law center) yang andal. Hal ini agar setiap undang-undang berbasis analisis akademik yang kuat, bukan sekadar kompromi politik.
Kedua, diperlukan perencanaan legislasi yang sistematis melalui peta jalan (roadmap) legislasi. DPR perlu memilah mana RUU yang memiliki urgensi nasional dan manfaat besar, bukan hanya mengejar kuantitas produk hukum.
Ketiga, partisipasi publik harus diperluas. DPR perlu membuka ruang diskusi terbuka, konsultasi publik, hingga pemanfaatan teknologi digital untuk menyerap aspirasi masyarakat. Dengan begitu, undang-undang yang lahir benar-benar menjadi cermin kebutuhan rakyat.
Keempat, pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat menjadi terobosan. AI bisa membantu menganalisis tumpukan dokumen hukum, mengidentifikasi potensi tumpang tindih, hingga mempercepat harmonisasi peraturan.
Kelima, evaluasi berkelanjutan wajib dilakukan. Undang-undang bukanlah teks suci yang tak bisa diubah. Ketika regulasi sudah tidak relevan, DPR harus berani merevisi atau bahkan mencabutnya, demi menjaga hukum tetap hidup dan adaptif terhadap perkembangan zaman.