Quanzhou
--
Selesai berkhotbah ia jadi imam salat Jumat. Saya lirik jam dinding. Pukul 14.00.
Ketika imam selesai mengucapkan ''waladdolin'' beberapa orang menyahut dengan kata 'amin'. ''Ini pasti ada orang Indonesia yang ikut salat Jumat di sini,'' kata saya dalam hati. Di masjid-masjid Tiongkok tidak ada sahutan 'amin' seperti itu --pun menjelang Pilpres seperti ini.
Ketika tiga jamaah keluar, yang baru masuk lebih banyak. Masjid menjadi agak penuh: lebih 100 orang: 80 persen suku Hui.
Begitu salat selesai mereka langsung berdiri. Bubar. Tidak ada doa. Tidak ada wirid.
Di halaman saya dicegat beberapa anak muda. Minta foto.
''Kami dari Kendari,'' kata mereka. ''Kami dikirim perusahaan belajar di Xiamen,'' tambahnyi.
''Perusahaan apa?'' tanya saya.
''Perusahaan nikel. Ini namanya,'' jawabnyi sambil menunjukkan tulisan di celana: PT Obsidian Stainless Steel.
Ada tiga lagi turis dari Malaysia. Lalu ada segerombol anak muda Hui menemui saya. '
'Anda kelihatannya tokoh ya. Banyak yang minta foto bersama,'' katanya.
''Anda dari mana?'' tanya saya.
我们是宁夏人,'' jawabnya.
Oh, saya pernah ke Ningxia, kampung mereka. Jauuuuh di wilayah barat Tiongkok. Dekat Xinjiang. Ningxia adalah salah satu provinsi mayoritas suku Hui nan Islam.
Selesai Jumatan saya keliling kompleks masjid ini. Yang untuk salat Jumat itu masjid baru: dibangun 1960-an.
Masjid lama terlalu tua. Sudah jadi peninggalan sejarah. Juga terlalu kecil. Hanya cukup untuk 25 orang. Bentuk masjid tua ini seperti kelenteng kecil. Letaknya sekitar 50 meter dari masjid baru.