JAKARTA - Laporan yang dikeluarkan oleh Climate Central memperlihatkan potensi dua kejadian gelombang panas (heatwave) yang sebelumnya terjadi di Indonesia terulang kembali, mengingat probabilitasnya mencapai tertinggi kedua dan ketiga di seluruh dunia.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Climate Central, World Weather Attribution (WWA), dan Red Cross Red Crescent Climate Centre, yang dikutip di Jakarta, Kamis, mengulas potensi terjadinya gelombang panas dan jumlah orang yang terpapar oleh cuaca ekstrem di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan laporan yang dirilis pada 28 Mei 2024 itu menemukan bahwa rasio probabilitas (probability ratio) dua kejadian gelombang panas di Indonesia tercatat menjadi yang tertinggi kedua dan ketiga di seluruh dunia.
Rasio probabilitas yang dimaksud menunjukkan peningkatan kemungkinan atau potensi terjadinya suatu peristiwa akibat dari perubahan iklim yang disebabkan manusia.
BACA JUGA:KPK Jadwalkan Kehadiran Febri Diansyah Pada Sidang SYL Pekan Depan
BACA JUGA:Niki Zefanya Tampil Perdana di Acara Jimmy Kimmel Live!
Temuan dari studi yang dilakukan ketiga lembaga itu memperlihatkan dua kejadian gelombang panas yang terjadi di Indonesia dan Filipina menempati rasio probabilitas tertinggi kedua dan ketiga di dunia atau memiliki potensi terjadi hal serupa.
Kejadian pertama adalah gelombang panas yang terjadi di Indonesia dan Filipina pada 2-7 April 2024 dengan skor rasio probabilitas 29. Sementara posisi ketiga adalah gelombang panas yang terjadi 26-31 Oktober 2023 yang memiliki skor rasio probabilitas sebesar 25.
Indikasi dari rasio probabilitas itu adalah skor 25 berarti perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia membuat kejadian tersebut 25 kali lebih mungkin terjadi.
Wilayah dengan skor probabilitas tertinggi menurut laporan itu adalah gelombang panas yang terjadi di Kepulauan Marshall dan Mikronesia, dengan skor tercatat sebesar 35 untuk kejadian periode 7-12 Maret 2024.
BACA JUGA:PLN Ubah 2.000 Tiang Listrik Jadi Charger
BACA JUGA:Palestina Minta Dewan Keamanan PBB Lindungi Gaza
Laporan itu juga menemukan bahwa selama periode 12 bulan, sebanyak 6,3 miliar orang atau sekitar 78 persen dari populasi global mengalami cuaca panas ekstrem setidaknya selama 31 hari, yang setidaknya dua kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Selain itu selama 12 bulan terakhir di seluruh dunia perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia menambah rata-rata suhu panas ekstrem selama 26 hari lebih lama dibandingkan jika bumi tidak mengalami perubahan iklim.
Sebelumnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam pernyataan pada awal Mei 2024 menyebut fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia selama beberapa hari terakhir bukan merupakan gelombang panas.