JAMBI, JAMBIBACAKORAN.COM - Sidang korupsi proyek pembangunan Stadion Mini Sungai Bungkal, Kota Sungai Penuh dengan terdakwa Welly Andres, Adi Arta, dan Yusrizal, kembali digelar dengan agenda mendengarkan kesaksian dari empat ahli.
Pada sidang kali ini, hadir Bambang Haryadi sebagai ahli biologi dosen Universitas Jambi; M. Asmuni, ahli Teknik Sipil Universitas Batanghari; Evi Sumantoro ahli volume dari Jasa Konstruksi; dan Khairul Ikhsan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kesaksian para ahli ini mengungkap berbagai kejanggalan dan ketidaksesuaian dalam proyek tersebut.
Bambang Haryadi, ahli biologi dosen Universitas Jambi menjelaskan bahwa saat pengecekan stadion mini pada 3 September 2023, ia menemukan perbedaan jenis rumput yang digunakan dengan yang seharusnya direalisasikan.
"Pada saat peninjauan, rumput yang digunakan di stadion terdapat tiga jenis, yaitu rumput gajah mini, rumput gajah biasa, dan rumput Jarum. Tidak ada satupun rumput Jepang seperti yang seharusnya digunakan sesuai kontrak," ungkap Bambang.
Ia menambahkan bahwa rumput yang tumbuh di stadion tidak merata karena tidak ditanam secara seragam.
"Rumput gajah biasa dan rumput jarum tumbuh dengan sendirinya, sementara rumput gajah mini ditanam secara acak, sehingga menyebabkan pertumbuhan yang tidak merata," jelasnya.
BACA JUGA:Polda Jabar Periksa Ayah Hadi Saputra, Terpidana Kasus Vina Cirebon
BACA JUGA:Ibunda Masuk Rumah Sakit, Aldi Taher Mohon Doa untuk Kesembuhannya
Bambang juga menekankan bahwa rumput Jepang membutuhkan pemeliharaan khusus yang berbeda dengan rumput gajah biasa. "Rumput gajah lebih cepat tumbuh sehingga harus sering dipangkas, berbeda dengan rumput Jepang yang tumbuh lebih lambat," tambahnya.
Selain itu, Bambang menemukan bahwa tanah yang digunakan di stadion adalah tanah biasa tanpa pupuk, sehingga rumput yang lebih cocok digunakan adalah rumput gajah. "Pada saat pengecekan, sebagian rumput sudah ditumbuhi bunga, dan di tengah lapangan terdapat tumbuhan putri malu," jelasnya.
Bambang juga mengakui bahwa metode yang digunakannya hanya berdasarkan pengamatan, bukan hasil uji laboratorium.
Evi Sumantoro, ahli dari jasa konstruksi memaparkan metode penghitungan volume dalam proyek tersebut. "Volume yang dikontrak adalah 500, namun yang terhitung hanya 239," ujarnya.
Ia juga menemukan bahwa jenis batu yang digunakan berbeda dengan yang tertera di kontrak. "Dalam kontrak disebutkan penggunaan batu sirtu, tetapi saat pengecekan ditemukan batu pecah yang digunakan," jelas Evi.
Selain itu, Evi menemukan perbedaan dalam penggunaan pipa. "Dalam kontrak disebutkan pipa dengan diameter 4 cm dan 6 cm dengan panjang 240 dan 260 cm, tetapi saat pengecekan ditemukan variasi ukuran pipa dari 4 cm hingga 5,5 cm," ungkapnya.
Evi juga menjelaskan bahwa pada pengecekan Februari 2023, terdapat 18 titik penggalian pipa oleh tim terdakwa, namun hanya kepala pipa sebesar 6 inci yang ditemukan di longsoran.