Change is the only constant. Sebuah premis solid yang dilontarkan Heraclitus pada abad ke-5 SM ini sangat relevan dengan kehidupan berbangsa dan bertanah air. Khususnya pada hari-hari sekarang ini. Pasalnya Indonesia sedang menyambut 100 tahun hari kemerdekaan yang jatuh pada tahun 2045. Dikenal dengan istilah Indonesia Emas. Hal itu ditandai dengan pembangunan Ibukota Nusantara persis di sentral Indonesia.
Investasi terbesar menuju Indonesia Emas digadang-gadang adalah bonus demografi. Menurut catatan BPS, Indonesia telah mengalami bonus demografi sejak tahun 2015 dengan periode puncak diperkirakan terjadi pada periode 2020-2035. Bahkan dalam Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo tahun lalu secara gamblang disebutkan selain international trust keutungan lain yang dimiliki Indonesia untuk menjadi negara 5 besar kekuatan ekonomi dunia adalah bonus demografi.
Artinya jika kita tautkan antara fase bonus demografi dengan kulminasi Indonesia Emas Tahun 2045 dapat kita sepakati bersama bahwa pada detik ini merupakan babak prolog (2015-2025) yaitu masa-masa krusial bagi meeting of minds terkait arah dan tujuan Indonesia Emas dimana epilognya relatif antara 2035-2045. Dengan pertanyaan besar apakah benar Indonesia Emas kelak sangat epic seperti yang kita bayangkan bersama?
Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo tanggal 16 Agustus 2024 yang juga merupakan Pidato Kenegaraan terakhirnya, pada bab penutup secara tersirat dikatakan bahwa Indonesia Emas 2045 “masih” merupakan sebuah cita-cita bagi tanah air yang berusia ke-79.
Namun yang sangat disayangkan adalah isi pidato tersebut sebagian besar tendensi naratif capaian dan keberhasilan pemerintahan yang genap 10 tahun semata. Tipikal pemerintah. Tanpa sedikitpun menyinggung kekurangan-kekurangan. Tanpa pula adanya penekanan akan pentingnya menatar Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia menuju Indonesia Emas sebagaimana Pidato Kenegaraan tahun lalu.
Perlu diketahui bersama, salah satu cetak biru penempa SDM Indonesia adalah revitalisasi perpustakaan. Sehingga harapannya, mimpi Indonesia Emas menjadi nyata. Bahkan jauh dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 disebutkan “…untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa… maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia”. Cita-cita dan doa para founding father yang sangat futuristik tersebut membuktikan bahwa semangat literasi sudah hadir sejak Indonesia terlahir.
Pun sampai saat ini perpustakaan terus berkembang untuk mencerdaskan bangsa. Jika dalam beberapa tahun belakangan kebijakan Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial dari Pemerintah Pusat diklaim berhasil. Namun adanya ketimpangan pembangunan di Indonesia juga berdampak pada eksistensi perpustakaan itu sendiri. Bagaimana mungkin perpustakaan bisa berdampak masif dan inklusif jika perpustakaan sebagai institusi saja belum selesai dengan permasalahaan dan tata kelola perpustakaan itu sendiri?
Sebagai contoh masih banyak perpustakaan yang gedungnya tidak layak, koleksinya tidak terkelola dengan baik, koleksi yang senantiasa kurang dan tidak representatif, tidak berjalannya information retrieval secara maksimal, otomasi yang justru mempersulit masyarakat, akses informasi yang minim, dan berbagai permasalahan internal lain yang muaranya tak lain pada SDM di perpustakaan itu sendiri.
Sialnya, alih-alih diisi oleh para ahli lulusan Program Studi Ilmu Perpustakaan. Pemerintah, baik pusat dan daerah justru melanggengkan stigma yang selama ini terbentuk yaitu menjadikan institusi Perpustakaan sebagai “Tempat Buangan” dan sudah menjadi rahasia umum. Dimana SDM dengan berbagai masalah, mereka yang ingin santai, mereka yang dikucilkan dan dianggap tidak produktif: baik secara politik, kinerja, sampai dengan kondisi kesehatan, mereka yang bahkan tidak pernah berkunjung ke perpustakaan seumur hidupnya pun justru ditugaskan di tempat yang sangat mulia ini.
Akibatnya perpustakaan sebagai lembaga pelayanan publik dan pusat informasi masyarakat terjebak secara sirkular oleh masalahnya sendiri. Hal demikian semakin diperparah dengan banyaknya anggapan bahwa kerja-kerja di perpustakaan hanyalah kerja-kerja yang remeh temeh, kerja-kerja yang senantiasa dipandang sebelah mata, kerja-kerja yang tidak membutuhkan kecerdasan intelektual, emosional, bahkan spiritual.
Di lembaga pendidikan, khususnya pada tingkat sekolah, sebagian besar perpustakaan sekolah “terpaksa” dikelola oleh guru untuk menambah jam mengajar. Hal tersebut menjadikan pengelolaan dan output tupoksi perpustakaan tidak maksimal. Bahkan temuan di lapangan menunjukkan banyak perpustakaan sekolah yang jauh dari Standar Nasional Perpustakaan sebagaimana Peraturan Perpustakaan Nasional RI Nomor 4 Tahun 2024. Itu pun jika terdapat perpustakaannya. Seringkali perpustakaan di sekolah hanya dijadikan gudang penyimpanan alat-alat praktek, buku mapel dengan kurikulum usang, bahkan semakin miris karena ada yang tidak memiliki gedung perpustakaan sama sekali.
Padahal mengenalkan literatur di fase usia dini punya peran sangat krusial dan seyogyanya dilakukan tak hanya di rumah tapi juga di sekolah dengan berbagai tingkatan. Belum lagi jika kita mention Perpustakaan Umum sebagaimana Peraturan Perpustakaan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2024 dimana di dalamnya terdapat Standar Nasional Perpustakaan Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan. serta Perpustakaan Khusus yang diatur dalam Peraturan Perpustakaan Nasional RI Nomor 7 Tahun 2022 yang membahas Standar Nasional Perpustakaan Khusus Lembaga Pemerintah, Nonpemerintah, dan Rumah Ibadah. Implementasi tersebut akan sangat sulit dilakukan jika kita selalu abai, mungkin cenderung menutup mata terhadap eksistensi perpustakaan.
Tak hanya itu, dalam berbagai kesempatan perpustakaan dan literasi hanya menjadi seremoni yang kental dengan angka-angka statistik dan tidak menyentuh ihwal fundamental penggodokan Sumber Daya Manusia menjadi insan kamil atau adimanusia. Bagaimana mungkin kemapanan secara literatif suatu daerah dapat dihomogenisasi dengan sebatas jumlah kunjungan ke perpustakaan? Atau intensitas perpustakaan keliling? Tanpa menggapai semua anasir sosial budaya di akar rumput. Ataukah literasi hanya boleh diklaim secara sepihak?
Hadirnya Organisasi Profesi Bidang Perpustakaan dan Kepustakawan pun seakan-akan dibebankan di tingkat provinsi seperti Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Provinsi Jambi yang disupport oleh Gubernur Jambi dalam kepengurusan periode 2023-2026. Sementara di tingkat Kabupaten dan Kota nihil. Lagi-lagi berbanding lurus dengan minimnya SDM dan penerapan Sistem Merit di perpustakaan pada Pemerintah Kabupaten atau Kota. Padahal Jambi tidak kekurangan lulusan Sarjana Ilmu Perpustakaan. UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi hampir setiap tahun mencetak para pustakawan ahli belum lagi pada skala nasional dengan kemajemukan perguruan tinggi. Tercatat sebagian besar para pustakawan berprestasi terbaik tingkat Provinsi Jambi merupakan lulusan Ilmu Perpustakaan perguruan tinggi dari luar Jambi.
Pekerjaan rumah di urusan perpustakaan tidak berhenti sampai disitu. Dalam amanat Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan pada Bab XII dijelaskan mengenai Dewan Perpustakaan. Sebuah lembaga semi otonom yang bertugas: a.) memberikan pertimbangan, nasihat, dan saran bagi perumusan kebijakan dalam bidang perpustakaan; b.) menampung dan menyampaikan aspirasi masyarakaat terhadap penyelenggaraan perpustakaan; dan c.) melakukan pengawasan dan penjamin mutu layanan perpustakaan. Masalahnya stakeholders di Jambi mungkin masih berpikir bahwa keberadaan Dewan Perpustakaan tersebut bukan sesuatu yang mendesak di tengah bututnya kualitas perpustakaan yang ada.
Seakan-akan semakin menegaskan The Right Man on the Right Place dalam semesta perpustakaan adalah mitos. Apalagi saat ini secara sosiokultural seluruh elemen masyarakat telah dipenuhi oleh net generation. Maka suka tidak suka perpustakaan harus beradaptasi dengan hal tersebut. Perpustakaan dan tentu saja SDM di dalamnya harus mampu mengidentifikasi munculnya varian sumber informasi dan cakap mengantisipasi dinamika perilaku informasi masyarakat.
Akan menjadi suatu hal yang jenaka jika pemustaka (pengunjung dan pengguna perpustakaan) lebih tahu dan lebih luas wawasanya dibandingkan SDM yang ada di perpustakaan. Artinya, sebagai garda terdepan literasi perpustakaan harus diisi oleh para kombatan dan martir yang selalu siap menjadi agen literasi, dimana hal klise tersebut selalu menjadi makanan para civitas akademika Program Studi Ilmu Perpustakaan di bangku perkuliahan maupun di kala diskusi di warung kopi.
Sehingga sampailah pada kesimpulan, Indonesia Emas tidak hanya melulu soal pembangunan infrastruktur nan ekspansif dimana gedung-gedung wajib menjulang. Alat kerja harus mahal, atau semua kemewahan lain. Namun ada juga ruang dimana pembangunan manusia sama pentingnya. Pembangunan manusia hanya dapat tercapai dengan baik jika perpustakaan juga diisi dengan SDM terbaik. Bukan sebaliknya. Tabik!
* Penulis merupakan Alumni Jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia, Finalis Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2019.
Kategori :