JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana Korupsi pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Temuan ini mencuat dari praktik pemerasan terhadap pemohon izin, baik agen maupun perusahaan pengguna TKA, yang berlangsung selama rentang waktu 2019 hingga 2024.
Dalam keterangan resmi KPK, Rabu 18 Juni 2025, para tersangka terdiri dari pejabat struktural dan staf di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA),
Mereka adalah SH – Dirjen Binapenta & PKK Kemnaker 2020–2023, HY – Direktur PPTKA 2019–2024, Dirjen Binapenta & PKK 2024–2025, WP – Direktur PPTKA 2017–2019, DA – Koordinator Uji Kelayakan PPTKA 2020–2024, Direktur PPTKA 2024–2025, GTW – Kasubdit Maritim dan Pertanian, Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA, PCW, JMS, dan ALF – Staf Direktorat PPTKA.
BACA JUGA:87 Kepala Daerah Ikuti Retret Gelombang ke Dua
BACA JUGA:Anggota Polda Jateng Tipu Puluhan Wanita, Merasa Kebal Saat Dilaporkan
Dalam konstruksi perkaranya, para tersangka diduga menyalahgunakan kewenangannya untuk memeras pemohon izin RPTKA, dokumen wajib bagi perusahaan yang mempekerjakan TKA di Indonesia.
Modus yang digunakan melibatkan manipulasi administrasi, seperti pemberitahuan kekurangan berkas secara sepihak, serta selektif dalam memproses permohonan hanya dari pihak yang memberikan sejumlah uang.
Permintaan uang dilakukan baik secara langsung maupun melalui komunikasi pribadi. Dana ditransfer ke rekening penampung, lalu digunakan untuk kepentingan pribadi, pembelian aset, dan dibagikan kepada pegawai terkait.
Dari hasil penyidikan, KPK mengidentifikasi bahwa total nilai pemerasan dalam kasus ini mencapai Rp53,7 miliar.
Para tersangka dijerat dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi, yaitu Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 B jo. Pasal 18 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1, dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
KPK juga menyampaikan bahwa proses penelusuran aliran uang dan potensi keterlibatan pihak lain masih terus dilakukan dalam rangka memperluas cakuan penindakan.
Lebih dari itu, KPK menekankan pentingnya perbaikan menyeluruh dalam tata kelola sektor ketenagakerjaan yang menyangkut kepentingan hajat hidup masyarakat luas, terutama karena sektor ini berkaitan erat dengan iklim investasi, pengelolaan tenaga kerja, dan stabilitas ekonomi nasional.
Kasus ini menjadi peringatan penting bahwa proses administratif yang tidak transparan dan akuntabel membuka ruang korupsi secara sistemik.
Untuk itu, KPK mendorong reformasi kebijakan dan tata kelola yang lebih efektif, termasuk pemanfaatan digitalisasi untuk mengurangi celah penyimpangan. (*)