Hal ini didasarkan pada pandangan Mufti Agung Mesir Syekh Athiyyah Shaqr dalam kitab Fatawa Al-Azhar Juz X. Di dalam kitab tersebut, ia menegaskan bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup seperti makan, minum, dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak.
Senada, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitabnya, Mafahim Yajibu an Tushahihah, juga menegaskan bahwa peringatan tahun baru itu merupakan bagian dari tradisi yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan.
BACA JUGA:11 Tradisi Perayaan Tahun Baru di Seluruh Dunia
BACA JUGA:Mulai Dari Kembang Api dan Terompet, Ini Hal yang Identik Dengan Perayaan Tahun Baru
Meskipun begitu, hal tersebut juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, karena yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan.
Melihat dua referensi mengenai perayaan tahun baru di atas, Ustadz Zaeini berkesimpulan bahwa peringatan momentum tahun baru dalam pandangan Islam masuk dalam kategori adat istiadat ataupun tradisi yang tidak memiliki korelasi dengan agama.
Dengan begitu, hukumnya bagi seorang Muslim boleh-boleh saja merayakan pergantian tahun baru tersebut selama tidak diiringi dengan kemaksiatan.
Namun, Ustadz Zaeini menegaskan bahwa sudah sebaiknya bahwa pergantian tahun baru ini menjadi satu momentum penting untuk mengevaluasi diri agar lebih memaksimalkan ibadah ke depannya dengan ungkapan syukur.
Hal yang tak kalah penting, menurut pegiat literasi Islam itu, dalam momentum pergantian tahun adalah memohon kepada Allah swt agar senantiasa diberikan kita kekuatan untuk menjalankan kebaikan dan ketaatan serta dijauhkan dari segala marabahaya.(*)