Kokkang Ibunda

Dahlan iskan--

Saya kembali memutari bumi: berangkat ke arah timur (Jakarta-Guangzhou-San Francisco-New York), pulang dari barat (Chicago-Istanbul-Singapura-Jakarta).


Bandara O'Hare belum berubah: sempit, penuh, ruwet, sesak. Bukan karena kecil. Saking banyaknya penerbangan. Terbanyak ketiga setelah New York dan Los Angeles. Bersaing dengan Atlanta.


Kalau malam terlihat lampu pesawat yang mau mendarat seperti berbaris tidak berhenti di udara.


Begitu mendarat di Istanbul, Turki, terasa lapangnya. Juga modernnya. Gemerlapnya. Bandara ini, kata slogan di situ, titik pusatnya dunia. Klaim yang sama juga direbut Dubai, Abu Dhabi, Qatar, Singapura, Hong Kong, dan kelak Riyadh.


Lebih lima jam saya transit di Istanbul. Tidak akan terasa. Apalagi membawa beberapa buku dari Amerika. Juga baru saja dapat kiriman buku elektronik dari sahabat lama, Roy.
Buku elektronik ini kelihatannya lebih menarik untuk dibaca lebih dulu. Penulisnya, saya lebih dari sekadar kenal: Wahyu Kokkang.
Bahwa ia menulis buku saja sudah menarik. Bagaimana bisa seorang karikaturis terkemuka menulis buku. Pasti beda.
Benar. Beda sekali. Sangat kreatif. Tidak biasa. Khas karikaturis. Kokkang sudah memenangkan banyak penghargaan internasional. Karya karikaturnya juga sering masuk buku koleksi karikatur dunia.


Kali ini ia sendiri yang menulis buku. Judul bukunya hanya dua kata: Cerita Ibunda. Lalu ada sub judul-judulan: "Ini ceritaku tentang ibuku dan beberapa cerita ibuku kepadaku".


Isinya: tentang bagaimana Kokkang terus merawat ibunya yang sudah berumur 80 tahun, tidak lagi bisa berjalan, sudah sering lupa.


Untuk itu Kokkang sampai meninggalkan pekerjaannya di Jawa Pos yang mapan. Ia pulang kampung ke Kaliwungu, dekat Semarang, demi ibundanya.
Di rumah Kaliwungu itu mereka hanya berdua –ditemani kursi roda, tempat tidur, lantai, kompor, halaman, pohon-pohon dan sajadah.


Tiap hari Kokkang menyuapi ibundanya, menggendong, memandikan, menceboki, mengipasi dan memberikan hiburan sepanjang hari.


Kokkang dengan rambut senimannya yang tetap panjang, kini justru terlihat lebih segar. Tidak sekurus ketika di Jawa Pos dulu.


Begitu lama saya tidak bertemu Kokkang. Membaca buku ini justru muncul rasa kangen padanya. Pada humor-humornya. Pada sikap mengalahnya.


Di buku ini saya bisa banyak melihat foto Kokkang bersama ibunya yang lemah. Kualitas foto-foto itu sebagus karya karikaturnya. Full human interest.


Ada foto saat-saat mereka berdua di toilet. Atau Kokkang lagi menyuapi. Terlihat juga saat sang ibu sangat bahagia: bisa tertawa lepas. Betapa bahagia wajah setua itu masih bisa tertawa begitu alamiyahnya. Betapa pintar dan sabar Kokkang membahagiakan ibundanya.


Kadang sebuah buku memang didahului dengan kata sambutan. Pun buku Kokkang ini. Bedanya, kata sambutan di buku ini hanya satu. Dari ibundanya sendiri. Juga sangat pendek. Satu halaman penuh isinya hanya tiga kata: "Kowe wis mangan?”.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan