Perjuangan Petani Karet di Kabupaten Tebo

--
Desa Semambu, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, merupakan kawasan yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup pada pertanian, khususnya tanaman karet. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, perubahan besar terjadi, dengan banyak petani yang beralih dari bertani karet ke perkebunan kelapa sawit.
Fenomena ini membuat perkebunan karet di kawasan Bentang Alam Bukit Tigapuluh mengalami penurunan drastis, hanya tersisa sekitar 10 persen dari luas total perkebunan.
Budi, Ketua Kelompok Petani Karet "Maju Bersama", menjelaskan bahwa peralihan ini sudah berlangsung lebih dari 15 tahun lalu, dipicu oleh penurunan harga karet yang terus berlanjut. Banyak petani yang memilih untuk menebang pohon karet mereka dan beralih menanam kelapa sawit.
"Karet harus dideres dulu baru keluar hasilnya, apalagi harga karet saat itu semakin turun," kata Budi, mengenang masa-masa sulit yang dihadapi para petani pada waktu itu.
Meski banyak yang beralih, Budi dan kelompok petani karet di desanya tetap bertahan. Mereka mendapat dukungan penting dari WWF Indonesia, yang fokus pada pembangunan berkelanjutan di kawasan sekitar hutan, termasuk di Kabupaten Tebo.
Program WWF bertujuan memberikan pengetahuan dan pelatihan kepada petani karet, serta meningkatkan kesejahteraan mereka dengan cara yang lebih ramah lingkungan.
“Awalnya kami tidak tahu bahwa karet itu tidak harus dipotong setiap hari. Setelah mendapatkan ilmu dari WWF, kami mulai menderes karet setiap dua atau tiga hari sekali untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal,” jelas Budi, yang merasa bersyukur atas perubahan ini.
Program WWF Indonesia tidak hanya membantu petani dengan pelatihan teknis, tetapi juga dengan pendekatan pemasaran yang lebih adil. Para petani kini mengelola kebun karet mereka lebih efektif dan menjual hasilnya secara berkelompok, yang memungkinkan mereka mendapatkan harga yang lebih baik.
"Sekarang, per dua minggu atau sekitar enam kali deres, kami bisa menghasilkan 80 hingga 100 kg getah, dan harga yang kami dapatkan lebih baik," ungkap Budi.
Selain itu, perbandingan keuntungan antara karet dan sawit semakin jelas. Pohon karet lebih ramah lingkungan, memungkinkan penanaman tanaman sela seperti jengkol, petai, kopi, dan jahe. Bahkan ranting pohon karet dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, sementara pelepah sawit sulit dimanfaatkan.
Dengan biaya perawatan yang lebih rendah dan dapat mengolah pupuk sendiri dari daun karet yang gugur, karet menjadi pilihan yang lebih menguntungkan bagi banyak petani.
Namun, bertani karet tidak tanpa tantangan. Di kawasan Bentang Alam Bukit Tigapuluh, yang merupakan jalur lintasan satwa gajah, petani menghadapi ancaman dari gajah liar yang merusak kebun sawit. Beruntung, gajah tidak menyukai getah pohon karet, yang membuat petani karet merasa lebih aman.
“Gajah lebih suka kelapa sawit. Itu juga yang membuat saya tetap menjadi petani karet,” kata Charis, ketua Kelompok Petani Karet Harapan Makmur, yang menghadapi masalah serupa.
Meskipun demikian, serangan penyakit jamur akar putih tetap menjadi masalah besar bagi petani karet. Charis, yang telah berusaha mengatasi masalah ini dengan berbagai cara, merasa bersyukur atas dukungan dari WWF Indonesia. "Jahe lebih baik, mudah-mudahan bisa menanggulangi penyakit ini," harap Charis, yang kini menanam jahe merah sebagai tanaman sela.
Selain pelatihan teknis, WWF Indonesia juga membantu petani dengan mendirikan Unit Pengelolaan dan Pemasaran Bersama (UPPB). Melalui UPPB, petani kini dapat menjual hasil karet mereka langsung ke pabrik dengan harga yang lebih baik, tanpa perantara tengkulak.
"Dengan cara ini, keuntungan yang didapat lebih besar, bahkan mampu menutupi biaya operasional," ujar Charis, yang dalam seminggu dapat menghasilkan sekitar 98 kg getah karet.