Dewan Langitan

Disway--

Akhirnya seluruh organisasi pers berkumpul di Bandung. Seingat saya lebih 20 organisasi pers. Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang sudah lama, ada yang baru dibentuk. PWI bukan lagi satu-satunya organisasi wartawan. Sudah ada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) –yang punya semangat anti kemapanan. Ada pula PWI-Reformasi –yang ini umurnya tidak panjang. Saking banyaknya saya sudah lupa nama-namanya. Banyak juga yang sekarang sudah meninggal dunia.

 

Jalannya rapat pun meriah –cenderung kacau. Semua organisasi pers merasa sejajar. PWI tidak diistimewakan lagi. PWI dianggap bagian dari Orde Baru.

 

Yang lebih sulit lagi saat pemilihan siapa yang akan jadi ketua Dewan Pers. Calonnya terlalu banyak. Masing-masing organisasi mengajukan calon ketuanya sendiri. Semua merasa berhak. Merasa mampu.

 

Saya tidak mau mencalonkan diri, meski beberapa orang minta saya maju. Saat itulah saya berbicara di forum: mengapa saya tidak mencalonkan diri.

 

"Calon ketua Dewan Pers haruslah seorang tokoh yang sudah di kelas Langitan," kata saya.

 

Waktu itu istilah “Langitan” lagi top berkat Gus Dur: ada istilah baru “Kiai Langitan”. Itu untuk membedakan kelas-kelas dalam kekiaian.

 

Ada kiai yang pesantrennya besar, ternama, tapi kualitas kiainya belum Langitan. Ada lagi kiai terkenal tapi tidak langitan karena terlalu berpolitik.

 

Maka ketua Dewan Pers haruslah seorang intelektual terkemuka. Bukan sekadar bergelar doktor atau master. Sang calon juga punya komitmen terhadap kebebasan pers. Ia/dia harus pendukung demokrasi. Bijak. Independen.  Berwibawa di depan masyarakat pers. Juga punya latar belakang sebagai orang pergerakan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan