Risiko Konsumsi Berlebihan di Dunia Thrift

-IST/Jambi Independent-Jambi Independent

Itu merupakan sebuah fenomena ketika harga pakaian bekas melonjak drastis akibat diburu oleh pasar kelas menengah dan atas.

Akibatnya, yang sebelumnya masyarakat berpenghasilan minim bergantung pada pakaian bekas dengan harga terjangkau, kini mereka menjadi kesulitan untuk membeli. Itulah salah satu ironi dari tren konsumsi yang berawal dari semangat inklusivitas.

Tak hanya itu, besarnya praktik impor pakaian bekas dari negara maju ke negara berkembang juga menimbulkan dilema.

Banyak pakaian yang dikirim dalam kondisi rusak atau tak layak pakai. Menjadikan negara tujuan sebagai tempat pembuangan limbah tekstil global.

Hal itu tentu bertentangan dengan semangat ramah lingkungan yang selama ini dikaitkan dengan budaya thrift.

Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi tren itu?

Solusinya bukan berhenti membeli pakaian bekas. Melainkan lebih bijak dalam berbelanja. Prinsip utama dari konsumerisme keberlanjutan adalah kesadaran akan kebutuhan. Belilah hanya jika kita memang memerlukannya, dan prioritaskan kualitas daripada kuantitas.

Selain itu, cobalah untuk belajar memperbaiki, merawat, dan mengombinasikan pakaian yang sudah dimiliki. Hal itulah yang nantinya bisa menjadi langkah awal untuk mengurangi konsumsi.

Di tengah krisis iklim dan limbah yang semakin meningkat, penting bagi konsumen untuk tidak hanya fokus pada harga atau tren. Tetapi juga pada dampak jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil.

Thrift seharusnya bukan sekadar alternatif barang murah. Melainkan bagian dari gaya hidup yang lebih sadar akan tanggung jawab.

Dengan demikian, pakaian bekas seharusnya tidak menjadi "masalah baru" jika dikonsumsi dengan cara yang benar.

Toko pakaian terbaik

Kuncinya terletak pada kesadaran. Bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang apa yang kita beli. Tetapi juga seberapa banyak dan apa tujuan kita membelinya. (*)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan