Risiko Konsumsi Berlebihan di Dunia Thrift

-IST/Jambi Independent-Jambi Independent
Fenomena thrifting kini sudah mulai menjamur di berbagai kota. Mulai dari lapak kaki lima hingga toko online, produk thrift menjadi pilihan favorit di kalangan anak muda terutama Gen Z.
Selain harga yang lebih terjangkau, pakaian thrift juga dianggap lebih ramah lingkungan. Karena memperpanjang siklus hidup sebuah produk.
Toko pakaian terbaik
Namun, di balik tren itu, overconsumption atau konsumsi berlebihan menjadi hal yang cukup dikhawatirkan.
BACA JUGA:Alternatif Sehat untuk Mengatasi Self-Harm
BACA JUGA:Mengatasi Kecemburuan terhadap Masa Lalu Pasangan
Di awal kemunculannya, budaya thrift lekat dengan nilai keberlanjutan. Membeli pakaian bekas dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap industri fast fashion yang boros sumber daya. Juga tidak ramah lingkungan.
Namun seiring dengan lonjakan popularitas, esensi utama thrifting mulai bergeser. Konsumen tidak lagi membeli karena kebutuhan. Melainkan tergoda oleh tren outfit dan harga murah.
Namun, apakah membeli pakaian bekas secara berlebihan tetap bisa dikategorikan sebagai tindakan ramah lingkungan?
Faktanya, konsumsi tetaplah konsumsi, meskipun barang yang dibeli adalah bekas. Ketika seseorang membeli banyak pakaian thrift hanya karena harganya murah, maka ia tetap berkontribusi terhadap penumpukan limbah tekstil di masa depan.
Menurut laporan dari Global Fashion Agenda, produksi pakaian global meningkat dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir.
Meski thrift menawarkan solusi alternatif, perilaku konsumtif yang berkepanjangan hanya akan memunculkan sebuah masalah baru.
Alih-alih membeli pakaian baru, konsumen kini lebih memilih menumpuk pakaian bekas di lemari mereka. Yang mungkin akhirnya juga dibuang.
Selain itu, meningkatnya permintaan pasar terhadap barang secondhand itu justru mendorong terjadinya "thrift gentrification".