Penyelenggara Haji Harus Berikan Kompensasi, Kegagalan Distribusi Makanan di Puncak Ibadah Haji

RAKOR: Rapat konsolidasi Tim Pengawas Haji 2025 demi memastikan penyelenggaraan ibadah haji berjalan sukses.-ANTARA FOTO-Jambi Independent
JAKARTA – Anggota Tim Pengawas Haji DPR RI, Satori, mendesak agar pihak penyelenggara haji memberikan kompensasi atau pengembalian biaya secara layak, kepada jamaah haji Indonesia atas kegagalan distribusi makanan yang terjadi selama pelaksanaan puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Ia menilai kegagalan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak dasar jamaah yang harus segera ditindaklanjuti secara konkret.
“Kalau kenyataannya konsumsi katering tidak diterima jamaah, otomatis harus ada konsekuensi dong. Ya tentunya bisa berupa pengembalian atau penggantian agar jamaah bisa membeli makanan dari luar,” kata Satori dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Rabu (11/6).
Satori menjelaskan bahwa dari 15 dapur yang digandeng oleh pihak penyelenggara, terdapat dua dapur yang gagal menjalankan tugasnya secara optimal. Kegagalan itu terjadi pada hari-hari krusial setelah puncak haji, tepatnya pada tanggal 10 dan 11 Juni 2025.
“Yang makanan ini, saya lihat BPKH Limited bekerja sama dengan 15 dapur. Namun dari 15 dapur ini, ada dua dapur yang gagal mengirim sehingga dari target 20.000 paket makanan per dapur, hanya 10.000 yang berhasil diproduksi,” ungkap Satori.
BACA JUGA:Kemendagri Sebut Tak Tergesa-Gesa, Untuk Bahas Revisi UU Pemilu
BACA JUGA:SBY Apresiasi Pengembangan Unhan
Padahal, masa Armuzna merupakan titik paling krusial dalam rangkaian ibadah haji, di mana jamaah membutuhkan suplai makanan yang memadai dan tepat waktu untuk menjaga stamina mereka di tengah cuaca ekstrem dan kondisi fisik yang melelahkan.
Satori menegaskan bahwa kegagalan tersebut merupakan persoalan serius karena menyangkut hak dasar jamaah—yaitu akses terhadap makanan selama menjalani ibadah di Tanah Suci. Ia menyayangkan kejadian ini karena secara teknis dan perencanaan, seharusnya risiko semacam itu bisa diminimalisasi sejak awal.
“Kalau separuh dari kebutuhan makanan tidak tersedia, maka harus ada konsekuensi. Ini menyangkut hak dasar jamaah,” ujarnya menegaskan.
Ia menambahkan, distribusi makanan selama fase Armuzna menjadi salah satu elemen vital dalam layanan penyelenggaraan ibadah haji. Gagalnya sebagian dapur memenuhi target distribusi, menurutnya, tak hanya menimbulkan ketidaknyamanan tetapi juga bisa berdampak pada kondisi kesehatan jamaah, terutama lansia dan mereka yang memiliki penyakit penyerta.
Satori mengusulkan agar mekanisme pengembalian atau kompensasi dilakukan secara kolektif, bukan langsung per individu. Menurutnya, pendekatan kolektif akan jauh lebih efisien dan tepat sasaran mengingat jumlah jamaah haji Indonesia yang mencapai ratusan ribu orang.
“Teknis pengembalian bisa lewat kepala sektor, ketua kloter, ketua Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU), atau karom masing-masing," sarannya.
Lebih lanjut, ia menilai distribusi langsung kepada tiap jamaah secara individu tidak realistis dan berisiko menimbulkan kekacauan administratif di lapangan.
"Kalau diserahkan langsung ke tiap jamaah, saya kira kurang efektif, mengingat jumlahnya puluhan hingga ratusan ribu orang," kata dia.