Jebakan U-dab

Dahlan iskan--
Kuliah di mana?
"U-dab”.
Anda pun sudah tahu di mana itu “U-dab”. Saya ke kampusnya Selasa pekan lalu. Di teater auditoriumnya.
Mahasiswa di sana mengadakan forum pertemuan: mengundang saya yang lagi bersama Bonek-Bonita di Perth, Australia Barat.
BACA JUGA:Uji Lab Nyatakan Negatif Zat Sintetis, Isu Beras Plastik di Provinsi Jambi
BACA JUGA:BKD Provinsi Jambi Akan Bentuk Timsus, Usut Pelaku Pemalsuan Surat Pengunduran Diri 13 ASN
Saya hitung yang hadir: hampir 50 orang --mayoritas kuliah untuk meraih gelar master dan doktor. Di berbagai bidang. Asal mereka juga dari banyak daerah, termasuk beberapa dari NTT.
“U-dab” memang singkatan yang tidak bisa dijelaskan dengan satu kalimat. Lengkapnya: University of Western Australia. Western Australia biasa disingkat WA. “W” dibaca “double u”. Maka pengucapannya menjadi University of Double U A. “U-dab”.
Saya sengaja tidak mau ceramah. Ini forum intelektual. Saya yakin mereka pun seperti saya –bosan mendengarkan ceramah. Maka saya ajak mereka diskusi. Saya hanya memberi pengantar pendek dua hal: mengapa saya ke Perth –ikut rombongan Bonek-Bonita. Anda sudah menonton live-nya di Indosiar –kapan itu.
Pengantar satunya lagi: diaspora di luar negeri tidak perlu punya perasaan ingin “sok” pengabdi ke negara. Lalu ingin cepat-cepat pulang dengan alasan ingin mengabdi itu. Padahal mereka belum tahu apa yang konkret yang akan mereka abdikan.
Keinginan mengabdi ke negara kenyataannya justru bisa jadi beban negara. Maka lebih baik tetap di luar negeri. Setelah sukses Anda bisa menjadi kekayaan Indonesia di luar negeri --sebagai network berharga bagi negara. Itu juga pengabdian besar.
Seorang calon doktor ekonomi angkat bicara. Asalnya dari pedalaman pulau Timor, NTT. Tinggi. Ganteng.
Saya bertanya apakah berarti ia dari kabupaten yang kemiskinan dan stunting-nya sangat tinggi dan sulit diatasi itu. Betul.
Ia juga membenarkan ada budaya lokal yang menjadi penghambat utama keluar dari stunting dan kemiskinan. Kini ia jadi calon doktor di “U-dab”. Bidang ekonomi pula.
Topik yang ia ajukan sangat menggelitik: jebakan kelas menengah.
Saya pun ingat diskusi publik beberapa tahun lalu: begitu banyak yang mengingatkan agar Indonesia jangan sampai memasuki middle income trap –seperti Argentina.
Peringatan itu diberikan sangat dini. Yakni saat kita masih suka “merayakan” sukses kala itu: sukses menjadi negara yang tidak bisa lagi dikategorikan negara miskin.
"Jangan gembira dulu", komentar banyak ahli kala itu. "Kita akan sulit meningkat ke tahap selanjutnya, jadi negara maju, kalau kelak terjebak middle income trap".
Saya balik bertanya kepadanya: apakah middle income trap itu akan terjadi kelak atau sekarang sudah terjadi?
"Sudah terjadi," katanya. Tegas. Mantap. Sedih.
Wow. Saya tertegun lama. Ternyata sudah lama saya tidak membahas dan memonitor ini. Kalau benar middle income trap sudah terjadi alangkah sialnya negeri ini. Diskusi publik dulu itu ternyata hanya seperti omon-omon –sebatas diskusi saja. Maka saya lemparkan persoalan ini ke forum. Saya ingin tahu bagaimana pendapat para calon doktor itu.
Diskusi pun ramai. Akhirnya saya tahu mengapa Presiden Prabowo ngotot ekonomi harus tumbuh delapan persen. Kalau tidak, kita akan terus berada di jebakan kelas menengah itu.
Saya tidak ingin forum di “U-dab” ini masuk ke situasi pesimistis. Harus dicari jalan keluarnya. Sikap pesimistis hanya akan memperburuk keadaan.
"Untuk keluar dari middle income trap, GDP per kapita kita harus USD 13.000," ujar Bernard Tampubolon. Ia Siantar-Man. Sudah bukan mahasiswa. Ia pelaku bisnis IT-AI di Perth. Saya tidak ingin ia bicara –karena bukan mahasiswa– tapi pendapatnya terlalu baik untuk diabaikan.
Maka saya bawa pembicaraan ke “bagaimana cara agar bisa mencapai tingkat GDP USD 13.000 per kapita itu”.
Tentu sangat sulit. Sekarang angka itu baru di USD 4.200 - USD 4.800. Bagaimana harus tiba-tiba melonjak jadi USD 13.000. Seperti mustahil.
Angka itu begitu mengetuk kesadaran kita: ternyata selama 10 tahun terakhir GDP per kapita kita berhenti di sekitar angka itu. Justru turun hampir USD 1.000. Selama 10 tahun ternyata kita tidak maju di bidang ini.
Tentu sebagian akibat berubahnya kurs dolar. Tapi tetap saja intinya: GDP per kapita kita justru berjalan mundur.
Lalu ada pendapat lain. Yang bicara juga calon doktor ekonomi. Ia menguraikan soal ICOR.
"ICOR kita 6,5," katanya.
Anda sudah tahu apa itu ICOR –parameter untuk menghitung berapa hasil yang didapat dari setiap uang yang dibelanjakan.
Dengan angka 6,5 (saya lupa bertanya dari mana ia dapat angka itu) berarti terlalu banyak uang yang kita belanjakan tapi terlalu sedikit hasilnya.
Itu bisa karena dikorupsi. Bisa juga karena proyek-proyek yang makan uang besar tidak menghasilkan. Proyek seperti bandara Kertajati adalah contohnya.
Tentu banyak sekali contoh lain. Bahkan ada contoh yang lebih besar. Besar sekali. Mahasiswa mengucapkan nama proyek itu serentak –sambil tertawa.
Ke depan, setiap proyek harus dianalisis pengaruhnya terhadap ICOR.
Tentu tenaga kerja yang kurang produktif juga penyumbang buruknya ICOR. Para pemalas lebih baik rebahan –dari pada bekerja tidak sungguh-sungguh.
Tak terasa diskusi sudah berlangsung lebih satu jam. Ternyata keharusan tumbuh 8 persen bukan hanya ambisiusnya Presiden Prabowo, tapi juga itulah yang harus dicapai kalau ingin Indonesia keluar dari middle income trap.
Saya sendiri sampai lupa kalau belum makan siang. Tadi, ketika waktunya makan, saya masih menjawab banyak pertanyaan di forum pengusaha Indonesia yang tinggal di Perth. Forum itu dilaksanakan di sebuah restoran Indonesia, Tempayan Bay.
Di meja saya sebenarnya sudah disajikan menu: nasi, empal, tahu, tempe, perkedel, sayur asem, dan beberapa lagi. Tapi pertanyaan terlalu banyak. Mereka sangat antusias. Saya tidak sempat makan.
Saya minta menu itu dibungkus. Lalu diserahkan saya saat menuju mobil.
Tidak sempat makan di mobil. Perjalanan dari ''U-dab'' terlalu pendek untuk membuka bungkusan.
Lumayan. Bisa untuk makan siang malam nanti. (Dahlan Iskan)