Anak-anak yang Tak Pernah Diberi Waktu Menjadi Anak

-IST/JAMBI INDEPENDENT-Jambi Independent

Di banyak sudut negeri ini, menjadi anak berarti menjalani masa kecil dengan terburu-buru. Bukan karena waktu yang bergerak lebih cepat, tapi karena sistem yang sejak awal tidak pernah benar-benar memberi ruang aman untuk tumbuh.

Anak-anak tidak dilahirkan dalam kekosongan. Mereka dibentuk oleh lingkungan yang kadang lebih gemar menghukum ketimbang mendengar.

Oleh sistem pendidikan yang mengukur keberhasilan anak lewat angka, tapi tak pernah bertanya: apakah mereka bahagia? Oleh sistem sosial yang menganggap suara anak bukan hal serius, kecuali saat menjadikannya bahan kampanye politik atau tema Hari Anak Nasional yang saban tahun hadir tanpa perubahan berarti.

BACA JUGA:Home Cafe Vibes: Bikin Serasa Punya Kafe Sendiri di Rumah

BACA JUGA:Kantor Pertanahan Kabupaten Bungo Serahkan Sertipikat PTSL 2025 Di Kelurahan Sungai Binjai

Angka yang Terlalu Sunyi

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 3.883 aduan kasus pelanggaran hak anak sepanjang tahun 2023, termasuk kasus kekerasan seksual, eksploitasi ekonomi, bully, dan masalah akses pendidikan.

Angka ini menunjukkan bahwa pelanggaran hak anak masih sangat tinggi dan belum menunjukan penurunan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.

Namun, lebih dari sekadar statistik, angka-angka ini adalah tanda bahwa negeri ini belum sepenuhnya siap mendengar suara anak.

Kita hidup dalam masyarakat yang dengan mudah menyuruh anak-anak "mengerti keadaan", padahal merekalah yang paling berhak dimengerti.

Dalam keluarga, sekolah, hingga komunitas, anak-anak dipaksa beradaptasi dengan tekanan yang bahkan orang dewasa pun belum tentu mampu tanggung.

Tumbuh dalam Sistem yang Gagal

Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memang sudah ada. Namun implementasinya masih jauh dari ideal.

Banyak anak masih terperangkap dalam sistem pendidikan yang kompetitif tapi tidak inklusif. Banyak pula yang tidak pernah tahu bentuk konseling sehat atau cara mengelola emosi, karena tidak pernah diajarkan, bahkan oleh guru dan orang tua mereka sendiri.

Lalu bagaimana dengan anak-anak yang harus bekerja? Data BPS per 2022 menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 800 ribu anak yang terlibat dalam pekerjaan, sebagian besar di sektor informal dan tanpa perlindungan hukum yang layak. Ini bukan soal mencari uang jajan. Ini soal bertahan hidup dalam keluarga miskin yang tidak mendapat jaminan sosial.

Ruang Aman yang Sekadar Retorika

Program ramah anak hanyalah jargon selama tidak menyentuh akar masalah. Selama sekolah masih menjadi tempat bullying terselubung. Selama kekerasan di rumah dianggap urusan privat. Selama suara anak dianggap tidak sepenting opini orang dewasa.

Lebih dari sekadar “melindungi,” anak-anak butuh sistem yang memanusiakan. Bukan hanya di atas kertas atau dalam bentuk seremoni Hari Anak yang penuh balon dan maskot.

Tapi dalam kebijakan nyata: akses terhadap psikolog sekolah, pendidikan kesehatan reproduksi yang aman, pelatihan emosi bagi orang tua, dan media yang tidak menjadikan anak sekadar alat sensasi.

Menjadi Negara yang Tidak Sekadar Mengklaim Sayang Anak

Menjadi bangsa yang mencintai anak-anak bukan soal berapa kali kita menyanyikan lagu “Kasih Ibu” di acara nasional. Tapi seberapa jauh kita mau meninjau ulang struktur yang menindas mereka secara sistemik. Apakah kita berani mengakui bahwa negara ini belum selesai dengan cara pandangnya terhadap masa kanak-kanak?

Anak-anak tidak butuh kasihan. Mereka butuh ruang. Butuh kepercayaan. Butuh dipahami sebagai manusia utuh, bukan investasi masa depan atau simbol harapan kosong.

 

 

Kita selalu bangga menyebut anak-anak sebagai “penerus bangsa.” Tapi jangan lupa, mereka tak akan bisa meneruskan apa pun jika hari ini saja tak diberi hak untuk sekadar menjadi anak. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan