PELAYAN YANG MERASA PENGUASA

Hafiq S, S.Pd.I., M.Pd-IST/JAMBI INDEPENDENT-Jambi Independent

Tulisan singkat ini dibuat tidak bermaksud untuk menambah kekeruhan suasana, apalagi untuk menyulut api kemarahan terhadap keangkuhan oknum penguasa yang kian hari semakin menjadi. Tulisan ini dibuat sekedar pengingat untuk kita semua atas ketidaktahuan kita tentang SIAPA PELAYAN DAN SIAPA PENGUASA YANG SESUNGGUHNYA wabil khusus teruntuk saudaraku yang sedang diberi amanah namun lupa bahwa kursi yang sedang ia duduki itu adalah milik penguasa yang sesungguhnya…..

Saudaraku….

Negara ini berdiri bukan karena kehendak sekelompok elit penguasa, tapi karena kehendak sebuah komunitas besar yang bernama rakyat. Di awal peradaban, manusia hidup berkelompok, saling membantu, saling mengurus antar satu dengan lainnya. Dari komunitas itulah lahir suatu gagasan: “Kita butuh orang-orang yang mengatur urusan bersama.” Maka diangkatlah para pembantu, sekali lagi PEMBANTU, bukan PENGUASA, pembantu itulah yang diberi amanah untuk melayani, mengurus, dan mempermudah urusan kehidupan seluruh anggota komunitas.

BACA JUGA:5 Makanan Penambah Berat Badan Yang Mudah Ditemukan di Dapur

BACA JUGA:3 Jenis Roti yang Harus Dihindari Penderita Diabetes

Namun lihatlah hari ini…

Kursi yang dulu disebut kursi amanah, kini sering dianggap singgasana kekuasaan. Jabatan yang semestinya menjadi ladang pengabdian, berubah menjadi panggung untuk menunjukkan arogansi dan keserakahan. Bahkan, sebagian pejabat lupa bahwa mereka berdiri di sana karena rakyatlah yang mengangkat, rakyatlah yang menggaji, dan rakyatlah yang menanggung semua fasilitasnya.

Tulisan ini hanya mengingatkan bahwa pemerintah adalah public servant, pelayan publik, bukan public master. Kekuasaan yang mereka pegang hanyalah titipan, bukan milik pribadi. Gaji besar yang mereka terima tidak mungkin berasal dari langit, tapi dari tetesan keringat rakyat yang selalu dituntut untuk membayar pajak. Mobil dinas yang mereka tunggangi bukan ber sumber dari warisan keluarga, tapi debeli dengan menggunakan uang rakyat.

Di hadapan rakyat, seorang pejabat seharusnya tunduk dan patuh terhadap segala kepentingan dan kemaslahatan umum, bukan kepentingan individu, kelompok dan golongan. Karena legitimasi yang mereka miliki lahir dari suara rakyat, legitimasi itu akan hilang ketika rakyat menariknya dengan dalil kekecewaan. Ketika pejabat melupakan siapa diri yang sebenarnya, ketahuilah ia bukan lagi sebagai pelayan, tapi telah berubah menjadi seorang penguasa yang lupa daratan. dan di sanalah awal dari keangkuhan kekuasaan.

Sejarah mencatat, setiap kali pejabat merasa “lebih tinggi” dari rakyatnya, kehancuran bangsa hanya tinggal menunggu waktu. Ketika kebijakan dibuat demi gengsi, bukan demi kepentingan umum… ketika pelayanan publik berubah menjadi jalur birokrasi yang berliku… ketika suara rakyat dibungkam dengan dalih stabilitas… saat itulah rakyat tidak lagi menjadi tuan di negerinya sendiri.

Thomas Jefferson pernah berkata: “Ketika rakyat takut kepada pemerintah, itu adalah tirani. Ketika pemerintah takut kepada rakyat, itu adalah kebebasan.” Kata-kata ini adalah pengingat keras bahwa yang berdaulat adalah rakyat, bukan kursi kekuasaan.

Nabi Muhammad bersabda yang artinya:

“Pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan rakyat yang menjadi pelayan pemimpin.” (HR. Abu Dawud)

Belajarlah dari kisah Umar bin Khattab pemimpin terbesar dalam sejarah Islam, yang berjalan di malam hari tanpa pengawal dan protokoler istana untuk memastikan rakyatnya agar tidak kelaparan. Lihatlah Umar bin Abdul Aziz yang menolak kemewahan kekuasaan demi memastikan terciptanya sebuah keadilan. Mereka menyadari bahwa menjadi pemimpin itu bukan untuk menguasai, tetapi melayani kepentingan rakyat tanpa menuntut pujian dan penghormatan.

 

Kita perlu mengembalikan orientasi pemerintahan pada esensi yang sesungguhnya yaitu sebagai pelayan rakyat, hal ini

akan bisa terwujud dengan melakukan empat hal:

1. Menanamkan kesadaran kepada setiap calon pemimpin, bahwa amanah akan dimintai pertanggung jawaban melalui pengadilan dunia dan pengadilan akhirat kelak dihadapan Rabb yang maha adil.

2. Membuka seluas-luasnya transparansi dan partisipasi publik.

3. Memperkuat pengawasan rakyat terhadap pejabat, untuk meminimalisir arogansi dan kesewenang-wenangan.

4. Memastikan setiap kebijakan yang diambil dapat menjawab kebutuhan rakyat, bukan untuk mempertahankan ego kekuasaan.

 

Sebagai penutup,

Ingatlah saudaraku..

Negara yang besar ini berdiri karena ada mandat dan legitimasi rakyat kecil, tidak mustahil keruntuhan akan terjadi bila rakyat kehilangan kepercayaannya. Pejabat hanyalah pelayan yang memegang kunci rumah besar bernama negara. Bila kunci itu justeru digunakan untuk mengunci kebebasan pemiliknya, maka status pelayan akan berubah menjadi sosok pengkhianat yang tak tahu diri.

Mari kita kembalikan negeri ini pada jati diri yang sesungguhnya, negeri yang dipimpin oleh pelayan rakyat, bukan oleh penguasa yang menghalalkan arogansi dan kesewenang-wenangan karena tidak memahami siapa tuan dan siapa pelayan. Kekuasaan tanpa pengabdian hanyalah tirani yang akan menghantarkan kepada gerbang kehancuran.

 

 

 

 

 

Penulis merupakan Dosen Fakultas Tarbiyah UIN STS Jambi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan