Semua Jual di Atas Harga Het, Kasus Korupsi Pupuk Bersubsidi

SIDANG: Sidang lanjutan kasis korupsi pupuk bersubsidi. -Surya Elviza/Jambi Independent-Jambi Independent
"Jadi tidak sesuai dengan SPJB yang tertera, belum lagi kami mengeluarkan biaya untuk injak gas sopir (ekspedisi)," katanya.
Herianto pun menegaskan terkait penjualan pupuk diatas HET olehnya sebagaimana dakwaan penuntut umum. Menurutnya semua pengecer di Kabupaten Batanghari, melakukan hal yang serupa yakni menjual pupuk subsidi diatas HET.
Terdakwa juga mengakui soal sejumlah blanko atau nota penebusan oleh petani yang diisinya sendiri. Atau tak sesuai antara volume pada nota penebusan dengan nominal sebenarnya.
Soal ini Herianto mengaku bahwa dirinya sudah menyerahkan dan meminta kelompok tani untuk mengisi nota penebusan, namun tak semua petani menindaklanjutinya.
"Saya yang tulis. Karna tanpa ini mereka tidak bisa dapat pupuk. Sudah saya serahkan berulangkali, tapi ini nama pun tidak mereka isi," katanya.
Jaksa Penuntut Umum pun lanjut menekankan soal Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-Dag/Per/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi, yang pada salah satu point menyebutkan
Pengecer bertanggung jawab atas penyaluran Pupuk Bersubsidi kepada Petani/Kelompok Tani di lokasi kios pengecer. Bukan kepada Ketua Kelompok Tani sebagaimana yang diterapkan oleh terdakwa.
Herianto, kembali berdalih soal pembayaran oleh banyak petani yang berjenjang atau nyicil, sehingga menyerahkan pada kelompok tani agar ada penanggungjawab. Hingga kemudian wabah pandemi Covid-19 yang membatasi pergerakannya hingga tidak dapat turun menemui langsung kelompok tani.
Ketika dicecar soal kerugian keuangan negara atas mark up dari harga HET, dan dipergunakan untuk apa duit-duit yang ia peroleh dari tindakan tersebut. Herianto ngaku lupa. Sementara Herianto ngaku lupa, JPU membacakan BAPnya saat penyidikan. Dimana pada intinya terhadap dana kelebihan pembayaran yang ia terima, juga kembali berputar dalam pusaran bisnis pupuk subsidi tersebut.
Diantaranya, biaya bongkar pupuk (dari ekspedisi) sebesar Rp 200/sak, biaya injak gas supir sebesar Rp 100 ribu - 150 ribu, hingga biaya uang terimakasih pada tim Verval sebesar Rp 250 ribu/penebusan pupuk subsidi.
"Sisanya kemana? Selisih per sak Rp 30 - 35 ribu itu mana lagi sisanya, digunakan untuk apa?" ujar JPU.
"Sewa gudang, terus (untuk bisnis) ini kan saya pinjam di bank pak, kan harus saya bayar. Sedangkan petani beli pupuk nyicil," ujar Herianto menjawab.
Sementara itu Penasehat Hukum terdakwa, Aripari Notonegoro menyinggung soal legalitas gudang penyimpanan pupuk milik terdakwa.
Hingga tim audit dari instansi lintas sektoral macam Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) hingga BPKP. Soal ini Herianto bilang bahwa proses audit berjenjang selalu berlangsung dan toko nya tidak pernah bermasalah.
"Pemeriksaan dari KP3 yang terdiri dari asisten 2 di kabupaten terus, dinas pertanian, perdagangan, kejaksaan, kepolisian. Itu pemeriksaan per 1 bulan 1 kali kalau ga salah. Provinsi 3 bulan sekali, BPKP 6 bulan sekali dan BPK 1 tahun sekali. Selalu turun ke lapangan," katanya. (viz/enn)