Jokowi Angkat Bicara Usai Pernyataanya Bahwa Presiden Boleh Memihak dan Kampanye
Presiden Jokowi --
Ayat 3), Pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai anggota partai politik dapat melaksanakan kampanye apabila yang bersangkutan sebagai:
a. Calon presiden dan calon wakil presiden
b. Anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU, atau
c. Pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.
Presiden Jokowi kemudian menunjukkan lembar karton berikutnya yang berisi pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017. Pasal itu menjelaskan bahwa ada sejumlah ketentuan bila kampanye dan pemilu diikuti oleh presiden dan wakil presiden.
Secara lengkap, pasal itu berbunyi:
Ayat 1), Kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wali kota harus memenuhi ketentuan:
a. Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan
b. Menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Ayat 2, cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggara negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ayat 3), ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.
Jokowi pun meminta agar masyarakat tak menarik kesimpulan atas pernyataannya ke hal-hal yang lain. Sebab, aturan yang ada sudah mengatur mengenai hal ini.
"Sudah jelas semua kok. Sekali lagi jangan ditarik kemana-mana, jangan diinterpretasikan kemana-mana, saya hanya menyampaikan ketentuan perundang undangan karena ditanya," tambahnya.
Pro dan kontra Sebagai informasi, pernyataan Jokowi sebelumnya menuai respons beragam dari publik. Wakil Presiden Ma'ruf Amin, misalnya, meminta masyarakat yang menilai langsung pernyataan Jokowi soal presiden boleh kampanye dan memihak.
Sedangkan Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menganggap, pernyataan tersebut sebagai sebuah bentuk penyalahgunaan kekuasaan.