Madura Kaili
Disway--
Ketika akhirnya Farid dinaikkan ke jabatan lebih tinggi ia justru menawar: apakah kenaikan itu bisa ditunda dua bulan.
Ia ingin menuntaskan dulu konflik Poso sampai benar-benar tidak akan berbuntut lagi. Ia senang ketika promosinya ditunda.
Saat menjabat Danrem itu Farid menulis buku tentang Tadulako. Sebelum itu ia harus mengadakan beberapa seminar tentang Tadulako.
Ternyata belum ada ilmuwan yang meneliti budaya Tadulako. Universitas Tadulako pun hanya punya satu literatur tentang Tadulako. Hanya 14 halaman.
Maka kepalang basah. Rektor Universitas Tadulako menyarankan Farid sekalian ambil gelar doktor Tadulako di Universitas Tadulako.
April nanti ujian terbukanya dilakukan: ia akan jadi doktor pertama soal Tadulako. Pembimbingnya: Prof Dr Nur Ali, sosiolog di sana.
Pasca Pilpres kemarin Farid menyelesaikan penelitiannya. Ia keliling ke lembah dan gunung di pedalaman Sulteng.
Ia sudah biasa menjelajah kawasan konflik itu. Kali ini ia lebih cermat. Setiap titik kunjungan ia upload ke Google. Pun siapa yang ia temui. Bertanya apa saja. Berikut jawaban mereka.
Kunjungan untuk penelitian ini berbeda dengan kunjungan waktu menjabat Danrem. Waktu itu suasananya membunuh atau dibunuh.
''Sekarang damai sekali. Saya bahagia melihat malam-malam sepeda motor ramai berlalu lalang di pedalaman,'' katanya.
''Dulu, begitu malam sepi sekali. Mobil pun baru berani lewat kalau berkonvoi,'' tambahnya.
Farid menyesal: Si kumbang dari Ciomas meninggal dunia belum lama ini. Ia memang sempat bertemu si kumbang, tapi hanya sebentar. Saat suasana belum aman. Waktu itu si kumbang ke Sulteng. Ia meneliti apakah ada hubungan antara senjata Tadulako dengan golok Ciomas.
Farid sempat dapat keterangan dari si kumbang: ternyata tidak ada hubungan. ''Golok Tadulako memang beda. Gagangnya dari tanduk kerbau,'' ujar Farid.
Tadulako bukanlah orang. Bukan tokoh. Bukan sosok. Tadulako adalah prinsip hidup suku Kaili: punya jiwa pejuang, jiwa pemimpin yang harus terdepan dalam menjadi panutan dan jiwa kepahlawanan.
Rasanya budaya seperti itu juga ada di suku Bugis, Madura, Aceh, dan Banten. ''Sifat kami memang kurang lebih sama dengan suku Bugis di Sulsel,'' ujar Kamil Badrun, tokoh suku Kaili di Palu.
Memang tidak akan ada lagi perang jarak dekat dengan menggunakan golok, tapi konflik-konflik lokal tidak akan pakai drone.(Dahlan Iskan)