Pengurusan izin KIR itu tanggung jawab pemilik bus, bukan sopir. Kendaraan yang tidak melalui uji KIR berarti rentan kondisinya tidak laik jalan.
BACA JUGA:Detektif Kocak dan Kasus Tak Terduga, Film ''Seoul Busters'' Siap Tayang di Disney+ Hotstar
BACA JUGA:Langkah Chico dan Ana/Tiwi Terhenti di Babak 16 Besar Malaysia Masters 2024
Sangat jarang pemilik perusahaan bus yang tidak laik jalan saat kecelakaan diperkarakan hingga di pengadilan. Alhasil, kejadian serupa dengan -- penyebab yang sama -- selalu terulang kembali. Seharusnya kecelakaan bus di Subang menjadi momentum agar penegakan hukum dapat komprehensif dan adil. Semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab.
Pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sebenarnya sudah mencantumkan adanya sanksi pidana bagi perusahaan angkutan umum. Sanksi pidana itu terkait kendaraan yang dikemudikan sopir tanpa melalui pengujian KIR.
Pengurusan izin KIR itu tanggung jawab pemilik bus, bukan sopir. Kendaraan yang tidak melalui uji KIR berarti rentan kondisinya tidak laik jalan. Selama ini perusahaan angkutan dalam peristiwa kecelakaan hanya dikenai sanksi administratif, misalnya, pencabutan izin.
Penyedia jasa angkutan umum yang tidak dapat menjamin kendaraannya layak jalan, pantas diberikan sanksi hukum yang setimpal. Bahkan, para petugas dan pejabat pemerintah yang tidak berkompeten juga wajib diseret ke ranah hukum. Tunjangan fungsional petugas pemeriksa laik jalan kendaraan umum sudah saatnya harus disesuaikan dengan kondisi sekarang.
BACA JUGA:Dejan/Gloria Siap Tantang Rinov/Pitha di Perempat Final Malaysia Masters 2024
BACA JUGA:Benarkah Metformin Bisa Cegah Kanker Darah, Berikut Penjelasannya
Pola kecelakaan bus wisata
Catatan dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT, Mei 2024), kecelakaan pada bus wisata itu polanya hanya ada dua. Pertama, rem blong pada jalan yang substandar dan kedua micro sleep disebabkan pengemudi mengalami kelelahan mengemudi.
Pola tersebut dipicu dari karakteristik angkutan wisata yang tidak diatur trayeknya dan tidak diatur pula waktu operasinya. Mereka bisa beroperasi di mana saja dan kapan saja tanpa ada batasan waktu operasi.
Sementara jalan-jalan menuju destinasi wisata hampir semuanya adalah jalan substandar (tidak sesuai regulasi) yang memiliki hazard dan berpotensi risiko rem blong bagi kendaraan besar, terutama bagi pengemudi yang tidak paham rute karena menggunakan gigi tinggi saat turun.
BACA JUGA:Mengenal IBS Pada Anak dan Cara Meredakannya
BACA JUGA:Polda Jambi Tertibkan PETI di Bungo
Demikian juga terkait panjang jari-jari tikungan dan lebar lajur yang tidak ramah bagi kendaraan besar dengan panjang 12 meter dan lebar 2,5 meter. Hal inilah yang sering kali mencelakakan bus wisata karena mereka dituntut harus mengantar ke tujuan wisata oleh penggunanya.