Ketua Yayasan Tay Kak Sie, Tanto Hermawan, yang menaruhnya di atas altar. Tanto adalah pengusaha besar di bidang perikanan. Juga, punya pabrik sarung tangan. Banyak lagi usaha lainnya.
Selesai sembahyang, saya merasa lapar. Belum makan malam. Maka, kami buru-buru meninggalkan kelenteng. Anda sudah tahu ke mana: ke toko lun pia Jalan Lombok.
Rupanya Novi Sofian mengejar kami. Ketua panitia yang lima ”i” itu menarik lengan saya tepat ketika tiba di depan lun pia.
BACA JUGA:Perhatikan, Ini 8 Risiko Minuman Manis Berlebihan bagi Anak-anak
BACA JUGA:Ahmadi Zubir Mengutamakan Pendidikan Beragama bagi Generasi Muda Sungai Penuh
Novi menjawil saya: Bapak harus makan di kelenteng.
Maka, gagallah proyek makan lun pia Jalan Lombok. Kami balik ke kelenteng. Saya tahu: semua menunya pasti vegetarian. Apa boleh buat.
Ternyata saya akan menyesal kalau tidak makan di kelenteng. Menunya enak semua. Hao ce ting ting.
Satenya itu! Saya tambah lima tusuk lagi. Terasa benar-benar seperti daging. Lebih empuk. Seperti daging wagyu. Pun masakan lainnya.
BACA JUGA:Kasus Dugaan Asusila Melibatkan Ketua BPD di Tebo Diselesaikan Secara Kekeluargaan
BACA JUGA:Danrem dan Kapolda Jambi Kunjungi Pos Karhutla di Desa Suban
Ternyata itu dimasak wanita yang istimewa: wanita Tionghoa dari Bandung. Usia 84 tahun. Dengan niat ibadah. Dia menyediakan diri untuk pergi ke berbagai kelenteng di Indonesia. Masak. Vegetarian. Untuk acara di kelenteng.
Namanyi: Fitrika Dewi.
Saya juga pernah makan masakan vegetarian seenak ini: di wihara baru yang sangat besar di Samarinda.
Saya pun bertanya-tanya, mengapa Kelenteng Tay Kak Sie disebut kelenteng besar. Dan, Sam Poo Kong disebut kelenteng agung. Anda sudah tahu. Saya belum tahu.(Dahlan Iskan)