Alasan Kebiasaan Membeli Barang yang Tidak Dibutuhkan

Senin 28 Apr 2025 - 21:00 WIB
Reporter : Rizal Zebua
Editor : Rizal Zebua

Membeli barang baru yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Itu merupakan kebiasaan yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak orang melakukannya tanpa pertimbangan rasional yang kuat. Sehingga keputusan tersebut umumnya didorong oleh faktor emosional, sosial, atau bahkan sekadar kebiasaan.

Salah satu alasannya adalah keinginan untuk merasa lebih baik secara emosional. Aktivitas berbelanja sering dijadikan cara cepat untuk mengatasi kejenuhan, stres, atau perasaan tidak nyaman.

Meskipun hanya sementara, sensasi memiliki barang baru memberikan kepuasan tersendiri. Itu kerap membuat seseorang merasa bahagia.

BACA JUGA:Wamendagri Pastikan Pengisian DPRP Transparan dan Adil

BACA JUGA:KSAL Minta Pemutihan Tunggakan BBM TNI AL

Media sosial turut memperkuat dorongan konsumtif itu. Paparan terhadap gaya hidup orang lain, tren, dan promosi yang muncul secara terus-menerus menimbulkan rasa ingin memiliki.

Keinginan tersebut sering kali muncul bukan karena kebutuhan. Melainkan karena pengaruh visual dan sosial.

Tekanan dari lingkungan juga berperan dalam membentuk keputusan belanja seseorang. Dalam masyarakat modern, barang sering dijadikan penanda status sosial atau pencapaian pribadi seseorang.

Akibatnya, seseorang akan selalu merasa perlu membeli sesuatu. Supaya tidak tampak tertinggal dari orang lain.

Strategi pemasaran juga turut mendorong perilaku konsumtif masyarakat. Produsen merancang produk baru dengan perubahan kecil. Itu dikemas secara menarik agar tampak lebih unggul dari versi sebelumnya. Hal itu menciptakan persepsi bahwa barang lama sudah tidak relevan. Meski masih berfungsi dengan baik.

Selain itu, sistem pembayaran saat ini semakin mudah. Sehingga memperbesar potensi pembelian tanpa pertimbangan matang. Cicilan tanpa bunga, dompet digital, dan potongan harga instan akan membuat transaksi terasa lebih ringan. 

Dari sisi psikologis, pengalaman berbelanja merangsang otak untuk melepaskan dopamin. Yaitu zat kimia yang memberi rasa senang.

Meski efeknya tidak bertahan lama, dorongan untuk mengulang pengalaman tersebut akan terus-menerus muncul. Jika tidak dikendalikan, hal itu bisa menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan.

Budaya konsumsi yang ada dalam masyarakat juga memperkuat kebiasaan itu. Kepemilikan barang sering kali dikaitkan dengan modernitas, keberhasilan, atau nilai diri.

Kategori :