Faktor yang Memicu Fenomena Marriage Anxiety

Senin 25 Aug 2025 - 20:59 WIB
Reporter : Finarman
Editor : Finarman

Pengalaman masa lalu juga mempunyai pengaruh besar. Anak yang tumbuh di keluarga dengan konflik berkepanjangan, perceraian, atau pola hubungan yang tidak sehat sering kali membawa rasa takut akan mengulang hal yang sama.

Kekhawatiran terjebak dalam toxic relationship membuat mereka lebih berhati-hati, bahkan sampai menghindari pernikahan sama sekali.

3. Gaya Hidup dan Nilai Baru

Perubahan zaman turut membawa pergeseran nilai. Individualisme dan prinsip self-priority semakin kuat, sehingga kebahagiaan pribadi sering diposisikan di atas komitmen jangka panjang. 

Ditambah lagi, tren seperti childfree dan narasi “marriage is scary” yang banyak dibicarakan di media sosial ikut membentuk persepsi bahwa menikah bukan lagi jalan yang harus diambil semua orang.

4. Tekanan Sosial yang Berubah

Jika dulu menikah di usia muda dianggap kewajiban sosial dan penentu status, kini sudut pandang itu semakin pudar.  Masyarakat mulai menerima bahwa pernikahan adalah pilihan, bukan keharusan.

Akibatnya, tekanan sosial untuk segera menikah jauh berkurang, memberi ruang bagi individu untuk menentukan jalan hidup sesuai keinginan mereka.

Dari berbagai faktor tersebut, fenomena marriage anxiety membawa dampak yang tidak sepenuhnya negatif. 

Di satu sisi, rasa enggan menikah memberi ruang bagi anak muda untuk fokus membangun diri, mengejar pendidikan, mengembangkan karier, dan mencapai stabilitas finansial sebelum mengambil komitmen besar.

Banyak yang merasa lebih siap secara mental dan materi ketika akhirnya memutuskan menikah. Namun di sisi lain, jika tren ini berlangsung dalam jangka panjang, potensi penurunan angka pernikahan dan kelahiran bisa menjadi tantangan baru bagi masyarakat. 

Dampaknya dapat terlihat pada struktur demografi, jumlah penduduk produktif, hingga pola interaksi sosial di masa depan. Perubahan ini mungkin memaksa negara dan masyarakat untuk menyesuaikan kebijakan, nilai, dan cara pandang terhadap institusi pernikahan.

Pada akhirnya, menikah adalah pilihan pribadi, bukan kewajiban yang harus dipenuhi demi memenuhi ekspektasi orang lain.  Keputusan untuk melangkah ke jenjang pernikahan sebaiknya lahir dari kesiapan mental, emosional, dan finansial—bukan dari rasa takut tertinggal atau tekanan sosial.

Melihat pernikahan dengan perspektif yang realistis dan sehat akan membantu kita memahami bahwa setiap orang punya waktunya masing-masing, bahkan mungkin jalannya sendiri yang berbeda. 

Entah itu memilih menikah atau tidak, yang terpenting adalah menjalani hidup dengan penuh kesadaran, menghargai pilihan diri, dan membangun kebahagiaan dengan cara yang paling sesuai dengan nilai dan tujuan hidup kita. (*)

 

Kategori :